MAKALAH
ILMU ASBAB AL-NUZUL
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu: Hj. Nur Asiyah, M.S.I.

Oleh :
Zakiyyatul Miskiyyah (133611075)
Emilia Tanjung Damayanti (133711003)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidaklah tersembunyi bagi siapapun juga, bahwa setiap
sesuatu pasti ada sebabnya dan ada kadarnya. Demikian pula sunnatullah di alam
ini. Sejarah adalah saksi yang benar menetapkan kebenaran ini. Sabab adalah kejadian atau sesuatu hal yang
melatarbelakangi suatu wahyu al-Qur’an diturunkan, seperti pertanyataan dari seorang yang
menanyakan suatu hal atau terjadinya peristiwa baru. Sedangkan nuzul sendiri
diartikan berbeda-beda menurut pandangan ulama.
Walaupun
kita telah mengetahui kaidah-kaidah
bahasa Arab, adab-adab bahasa dan apa yang dikehendaki oleh kata-kata
tunggal. Namun kita tetap
memerlukan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat
itu diturunkan. Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah yang berupa al-Qur’an juga ada sebabnya yang disebut dengan asbab
al-nuzul.
Dalam
makalah ini, kami akan membahas tentang pengertian asbab al-nuzul,
menyebutkan macam-macam asbab al-nuzul,
menjelaskan arti pentingnya asbab
al-nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an, menjelaskan kaidah penetapan hukum
yang berkaitan dengan asbab al-nuzul.
B. Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
pengertian Asbab al-Nuzul ?
2.
Apa
saja macam-macam Asbab al-Nuzul ?
3.
Bagaimana
arti pentingnya Asbab al-Nuzul dalam
menafsirkan al-Qur’an?
4.
Bagaimana
kaidah hukum yang berkaitan dengan Asbab
al-Nuzul?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Asbab Al-Nuzul
Kata asbāb al-nuzūl berasal dari dua kata,
yaitu أسباب dan النزول. Asbab merupakan bentuk
plural dari kata السبب, mempunyai
arti hakiki yang menunjukkan kepada sesuatu
yang dengannya dicapai sebuah tujuan dan maksud[1]. Sedangkan
kata النزول berasal dari kata نزل yang berarti turun. Jadi,
definisi asbāb al-nuzūl dari segi
etimologis berarti sebab atau alasan turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Adapun dari segi terminologis,
Suhbhi al-Shalih mendefinisikan asbāb al-nuzūl sebagai
sesuatu yang dengan sebabnya, turun satu atau beberapa ayat yang mengandung
sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya
pada masa terjadinya sebab tersebut. Sementara itu, Muhammad ‘Ali
al-Shobuni memaparkan definisi asbāb al-nuzūl dalam
dua bentuk, yaitu:
Suatu kejadian atau peristiwa yang
kemudian menyebabkan turun satu ayat atau beberapa ayat Alquran mengenai
peristiwa itu. Ada kalanya timbulnya pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad dengan maksud untuk mengetahui hukumnya atau penafsirannya tentang
masalah-masalah keagamaan, maka turunlah ayat untuk menerangkan maksudnya.
Menurut M. Hasbi al-Shiddieqy, asbāb al-nuzūl ialah sesuatu yang dengan
sebabnyalah turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau
memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya, pada masa
terjadinya peristiwa itu.[2]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya
ayat-ayat al-Qur’an itu ada dua macam:
1. Turunnya dengan di dahului oleh
suatu sebab, contohnya Q.S. al-Baqarah: 221
2. Turunnya tanpa didahului oleh suatu
sebab, misalnya ayat-ayat yang mengkisahkan hal ihwal umat-umat yang dahulu
beserta para Nabinya, atau menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
lalu dan lain-lain.[3]
B. Macam-Macam
Asbab Al-Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang
turun, sabab Al-Nuzul dapat di bagi
kepada Ta’addud Al-Asbab Wa Nazil Al-Wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan
yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu) dan Ta’addud Nazil Wa As-Sabab Al-Wahid (ini
persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari
satu sedang sebab turunnya satu). Sebab turun ayat disebut Ta’addud Al-Nazil, bila inti persoalan
yang terkandung dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih
dari satu persoalan.[4]
Jika
ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing
menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawanya,
maka kedua riwayat ini teliti dan dianalisis. Permasalahanya ada empat bentuk.
Pertama, salah satu dari keduanya sahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya
sahih, akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan lainnya
tidak. Ketiga, keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai
penguat (murajjih). Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus.
Bentuk,
pertama diselesaikan dengan jalan memilih riwayat yang sahih dan menolak yang
tidak sahih. Misalnya perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhary, Muslim,
dan lainnya dari satu pihak dan riwayat At-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah di
pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan daru Jundab. Ia (Jundab)
berkata: “Nabi SAW.kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam.
Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak
melihat setanmu kecuali ia telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan: Qur’an Surat
Ad-Duha : 1-3.
Al-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari Hafsh bin Maisarah dari ibunya, dari ibunya (neneknya dari
ibu) dan ibunya ini pembantu Rasul SAW: “Sesengguhnya seekor anak anjing
memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah
tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW. Tidak dituruni wahyu.
Maka ia (Nabi) berkata: Hai Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah
Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata
pada diri saya sendiri: “Sekiranyalah engaku persiapkan rumah ini dan engaku
sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya
mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW. Pun datang dalam keadaan
jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia menjadi
gemetar”, maka Allah menurunkan: وَالضُّحَى hingga firman-Nya فَتَرْضَى
Dalam hal demikian menurut
Al-Zarkani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam menerangkan sebab
turunnya ayat tersebut karena kesahihan riwayatnya dan tidak riwayat yang
kedua. Sebab dalam sanad riwayat kedua terdapat periwayat
yang tidak dikenal. Ibnu Hajar berkata: “Kisah terlambatnya Jibril karena
adanya anak anjing yang masuk itu. Akan tetapi, keadaanya menjadi sebab bagi
turunnya ayat aneh itu. Dalam sanadnya terdapat orang yang tidak terkenal.
Karena itu, yang diterima adalah ada yang ada didalam kitab Sahih”.
Bentuk kedua
ialah keadaan dua riwayat itu sahih. Akan tetapi, salah satu diantaranya
mempunyai penguat (murajjih). Penyelesainnya ada yang mengambil yang kuat
rajjihah. Penguat (murajjih) itu adakalanya salah satunya lebih sahih dari yang
lainnya atau periwayat salah satu dari keduannya menyaksikan kisah itu
berlangsung sedang periwayat lainnya tidak demikian. Misalnya, hadits yang
diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Saya
berjalan bersama. Nabi SAW. “di Madinah dan ia (Nabi) bertongkatkan pelepah
kurma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian
orang lainnya: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada
kami tentang ruh”. Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkatkan kepalanya.
Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik. Kemudian ia
berkata:
قُلِ
الرُّوْحِ مِنْ اَمْرِ رَبِّئ وَمَا اُوْتِيْتُمْ
مِنَ الْعِلْمِ اِلأَّ قَلِيْلً
Dalam
hubungan ayat yang sama, At-Tirmizi meriwayatkan
hadis yang disahihkan dari Ibnu Abbas. Ia (Ibnu Abbas) berkata: “Orang-orang
Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “Berikanlah kepada kami sesuatu yang
akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Tanyakanlah
kepadanya tentang ruh”, mereka pun menanyakannya, maka Allah menurunkan:
وَيَسْـءَلُوْ نَكَ
عَنِ الرُّوْحِ . {الاية
Menurut
As-Suyuti dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini menunjukan bahwa ayat tersebut
turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan
riwayat yang pertama jelas menunjukan turunnya di Madinah karena sebab turunnya
adalah pertanyaan orang-orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari
yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhary dan yang kedua riwayat
at-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhary lebih sahih dari
riwayat lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibnu Mas’ud menyaksikan kisah
turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadis yang kedua tidak demikian. Orang
yang menyaksikan tentunya mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan
penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak menyaksikanya. Karena itu, riwayat
yang pertama diterima dan riwayat kedua ditalak.
Bentuk
ketiga ialah kesasihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan riwayat
(murajjih) bagi salah satu keduanya. Akan tetapi, keduannya dapat
dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi
peristiwa tersebut karenamasa keduanya berhampiran. Penyelesaiannya adalah
dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibnu
Hajar pernah berkata: “Tidak ada halangan bagi tejadinya Ta’addud Al-Asbab
(sebab ganda). Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan
Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berbuat
mesum (qazf) di sisi Nabi dengan Syarik bin Samba. Nabi berkata: “Bukti atau
hukuman (had) atas pundakmu”, Ia berkata: “Hai Rasulullah, jika seseorang dari
kamu mendapati seorang laki-laki bersama isterinya, dia harus pergi mencari
bukti?”. Menurut satu riwayat, ia berkata: “Demi Tuhan yang membangkitkanmu
dengan kebenaran, sesungguhnya saya benar, dan sesungguhnya Allah akan
menurunkan sesuatu (ayat) yang akan membebaskan pundak saya dari hukuman (had),
maka Jibril pun turut dan menurunkan atas (Nabi).
Sementara
itu, Al-Bukhari dan Muslim (lafal Al-Bukhari) meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d,
bahwa Uaimir datang kepada Ashim bin Aidy yang adalah pemimpin bani Ajlan
seraya berkata: Bagaimana pendapat kamu tentang seseorang yang menemukan
isterinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu maka kamu pun
membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak?
Tanyakanlah untuk ssaya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Umaiwir pergi menanyakannya langsung kepada Rasul. Rasul berkata: “Allah telah menurunkan Al-Quran tentang engkau dan temanmu (isterimu)”. Rasul memerintahkan keduanya melakukan Mula’anah sehingga Umaiwir melakukan Li’an terhadap isterinya.
Tanyakanlah untuk ssaya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Umaiwir pergi menanyakannya langsung kepada Rasul. Rasul berkata: “Allah telah menurunkan Al-Quran tentang engkau dan temanmu (isterimu)”. Rasul memerintahkan keduanya melakukan Mula’anah sehingga Umaiwir melakukan Li’an terhadap isterinya.
Kedua
riwayat ini sahih dan tidak ada penguat (Murajjih) bagi salah satu keduanya
atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesuliatan untuk menjadikan
kedua-duanya sebagai sebab turun ayat-ayat tersebut karena waktu peristiwanya
berhampiran. Hilal bin Umayyah dipandang sebagai penanya pertama dan Uwaimir
penanya kedua sebelum ada jawaban Rasul. Pada mulanya Uwaimir menanyakan
melalaui Ashim dan kemudian menanyakannya secara langsung.
Masalah
ini juga dapat diselesaikan melalui jalan lain, yaitu dengan memahaminya dari
riwayat yang kedua. Melalui riwayat yang kedua. Melalui riwayat yang kedua
dapat dipahami bahwa ayat-ayat Mula’anah pada mulanya turun sehubungan dengan
masalah Hilal. Kemuadian, Umaiwir datang, maka Rasul menjawabnya dengan
ayat-ayat yang telah turun pada masalah Hilal.
Bentuk keempat ialah keadaan dua riwayat itu sahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduannya sekaligus sebagai Asbab Al-Nuzul karena waktu peristiwannya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak Asbab Al-Nuzulnya. Misalnya ialah Hadis yang diriwayatkan.[5]
Bentuk keempat ialah keadaan dua riwayat itu sahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduannya sekaligus sebagai Asbab Al-Nuzul karena waktu peristiwannya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak Asbab Al-Nuzulnya. Misalnya ialah Hadis yang diriwayatkan.[5]
C. Arti Pentingnya Asbab Al-Nuzul dalam Menafsirkan
Al-Qur’an
Ilmu
Asbab Al-Nuzul itu besar sekali manfaatnya bagi siapa saja yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an, karena ilmu ini dapat membantu seseorang untuk bisa
memahami ayat al-Quran secara tepat dan sekaligus dapat menghindarkan dia dari
salah pengertian.
Mengenai ilmu Asbab Al-Nuzul ini, al-Wahidi (wafat 427
H) berkata:
لايمكن معرفة تفسير الاية دون الوقوف على قصتها و بيان
نزولها.
Artinya: Tidak mungkin mengetahui tafsirnya ayat,
tanpa mengetahui kisahnya dan keterangan turunnya.
Menurut Ibnu Taimiyah (wafat 726 H) menegaskan bahwa:
معرفة
سبب النزول تعين على فهم الاية فانّ العلم بالسّبب يورث العام بالمسبّب .
Artinya: Mengetahui sebab turunnya ayat dapat
menolong untuk memahami ayat, karena sesungguhnya mengerti sebabnya dapat
menghasilkan pengetahuan tentang akibatnya.
Menurut Ibnu Daqiqil ‘Id (wafat 702 H) menegaskan
bahwa:
معرفة
سبب النّزول طريق قويّ فى فهم معانى القران.
Artinya: Mengetahui sebab turunnya ayat adalah
jalan yang kuat dalam memahami maksud-maksud al-Quran.
Dalam buku ulumul Qur’an karangan Mawardi Abdullah,
hikmah mengetahui asbabun
nuzul antara lain :
1.
Membantu
mengetahui sejarah yang melatar belakangi pensyariatan suatu hukum.
2.
Membantu
memudahkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
3.
Turunnya
al-Qur’an ketika terjadi sebuah peristiwa menunjukkan kemukjizatannya.
4.
Menghindari
salah duga pemahaman sebuah ayat.[6]
Demikian pentingnya Asbab Al-Nuzul menurut pandangan
para ulama. Karena itu, di kalangan Ulama al-Muhaqqiqun sampai mengharamkan seseorang
yang berani menafsirkan ayat-ayat al-Quran tanpa mengetahui Asbab al-Nuzulnya.
Fakta
sejarah menunjukkan bahwa jika tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dapat
menjerumuskan kita ke dalam kesalahan yang besar dalam memahami al-Quran. Contohnya:
Ø
Marwan
bin al-Hakam mengira bahwa firman Allah dalam surat Ali Imran:
188
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Artinya: Janganlah
sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang
telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang
belum mereka kerjakan (janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari
siksa dan bagi mereka siksa yang pedih).
Itu
adalah untuk ancaman bagi semua orang mu’min. kemudian ia memerintahkan kepada
Rafi’ (penjaga atau pengawal istana) untuk menyampaikan pesannya kepada Ibnu
Abbas, bahwa sekiranya setiap orang yang bergembira karena mendapatkan sesuatu
dan sekiranya setiap orang suka dipuji terhadap sesuatu yang belum dikerjakan
akan disiksa, pastilah kita semuanya akan disiksa pula. [7]
Maka Ibnu Abbas menjelaskan apa yang menjadi latar
belakang dari ayat tersebut dengan ucapannya:
وما لكم ولهذه : انّما دعا النّبىّ ص.م. اليهود فسألهم
عن شئ فكتموه ايّاه و اخبروا بغيره فأروه ان قد اسْتحمدوا
اليه بما اخبروه عنه فيما سألهم و فرحوا بما اتوا من
كتمانهم.
Artinya: Mengapa kamu berpendapat demikian.
Bahwasanya Nabi saw. memanggil orang-orang Yahudi lalu menanyakan kepada mereka
tentang sesuatu, maka mereka menyembunyikannya dan menerangkan yang lain.
Mereka memperlihatkan kepada Nabi bahwa mereka telah dipuji terhadap apa yang
mereka kabarkam dan mereka bergembira dengan sesuatu yang mereka sembunyikan
itu.
Kemudian Ibnu Abbas membaca firman Allah surat Ali
Imran: 187
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ
ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ.
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji
itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit.
Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.
Dan
kemudian Ibnu Abbas melanjutkan bacaannya sampai dengan surat Ali Imran ayat
188. Maka dengan mengetahui latar belakang atau Asbab al-Nuzul,
hilanglah salah paham dari Marwan bi al-Hakam dan lenyap pula kemusyrikan kita
terhadap maksud surat Ali Imran ayat 188 itu.
Ø
Utsman bin Madz’un dan ‘Amr bin Ma’dikariba,
menyatakan bahwa khamr (minuman keras) itu masih boleh bagi orang mu’min yang
beramal shalih, dengan alasan surat al-Maidah: 93
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا ... الاية
Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu…
Hal ini terjadi
karena kedua sahabat itu tidak mengetahui sebab turunnya ayat tersebut. Menurut
keterangan al-Hasan dan Ulama lainnya, bahwa setelah turunnya ayat yang
mengharamkan Khamr (al-Maidah: 90). Maka para sahabat berkata: “Bagaimanakah
nasib saudara-saudara kita yang telah mendahului kita, padahal mereka pernah
minum minuman Khamr, dan Allah telah menegaskan bahwa Khamr itu najis. Maka
turunlah surat al-Maidah:93. Andaikata tidak ada keterangan tentang sebab
turunnya ayat ini, pastilah umat Islam sampai kini masih membolehkan minum
minuman yang memabukkan, karena berpegangan dengan dhahirnya surat al-Maidah:93
ini.
Ø
Surat
al-Baqarah: 115 وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
Andaikata tidak ada
keterangan tentang Asbab al-Nuzulnya ayat ini, tentu umat Islam bersembahyang
dengan menghadap arah mana saja yang disukainya karena berpagangan dengan
dhahirnya surat al-Baqarah: 115. Tetapi bagi orang yang telah mempelajari Asbab
al-Nuzulnya ayat ini dapatlah mengetahui bahwa ayat tersebut mengenai
segolongan sahabat yang shalat bersama-sama Nabi pada suatu malam yang sangat
gelap gulita, sehingga mereka tidak tahu arah kiblat.
Maka setiap orang bersembahyang menghadap ke arah kiblat menurut
ijtihadnya masing-masing. Dalam hal ini, shalat mereka adalah sah dan diterima
oleh Allah, sekalipun mereka tidak menghadap kiblat yang sebenarnya.[8]
D. Kaidah Hukum yang Berkaitan dengan Asbab Al-Nuzul
Dilihat dari
sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul.
a.
Sarih (jelas)
Artinya riwayat
yang memang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul dengan
indikasi menggunakan lafaldz
(pendahuluan).
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun
ayat ini adalah
حدث هذا...
فنزلت الآية
Telah
terjadi …… maka turunlah ayat
سئل رسول
الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah
pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.
b.
Muhtamilah (masih kemungkinan atau
belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab
an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
نزلت هذه الآية فى كذا...
ayat ini
diturunkan berkenaan dengan......
احسب هذه
الآية نزلت فىكذا...
saya kira
ayat ini diturunkan berkenaan dengan …
ما احسب نزلت
هذه الآية الا فىكذا...
saya kira
ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …
- Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbabun nuzul .
a. Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunya satu ayat.
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari makalah ini dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian Asbab al-Nuzul adalah peristiwa
yang terjadi menjelang turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Untuk macam-macam sabab Al-Nuzul dapat di bagi kepada Ta’addud Al-Asbab
Wa Nazil Al-Wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan
yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu) dan Ta’addud Nazil Wa As-Sabab Al-Wahid (ini
persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari
satu sedang sebab turunnya satu). Mempelajari Ilmu
Asbab Al-Nuzul itu besar sekali manfaatnya bagi siapa saja yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an, karena ilmu ini dapat membantu seseorang untuk bisa
memahami ayat al-Qur’an secara tepat dan sekaligus dapat menghindarkan dia dari
salah pengertian. Kaidah Hukum yang
Berkaitan dengan Asbab Al-Nuzul ; Dilihat
dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul: Sarih (jelas) dan Muhtamilah (masih
kemungkinan atau belum pasti). Dilihat dari sudut pandang
terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu
sebab asbab an-nuzul.
a.
Beberapa sebab yang hanya
melatarbelakangi turunnya satu ayat.
b.
Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya
beberapa ayat.
B.
SARAN
Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan guna perbaikan
makalah selanjutnya. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, tiada kelebihan
ilmu yang kami tuangkan dalam makalah ini. Semoga apa yang kami sampaikan dalam
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Anwar,
Rosihon. 2012. Ulum Al-Qur’an. Bandung
: CV. Pustaka Setia
Zuhdi,
Masjfuk. 1982. Pengantar Ulumul Qur’an.
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
http://www.referensimakalah.com/2012/02/pengertian-asbab-al-nuzul-asbabunnuzul_6173.html
Sabtu,29 Maret 2014 Pkl.
09:00 p.m.
http://ferryrosstar.wordpress.com/2013/09/19/asbab-al-nuzul-ulumul-quran/
Sabtu,29 Maret 2014
Pkl.09:45 p.m.
http://www.minannu.com/2013/06/pengertian-kaedah-kegunaan-asbabun-nuzul.html
Minggu, 30 Maret 2014 Pkl. 02:00 p.m.
[1] Mawardi Abdullah. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 52
[2]http://www.referensimakalah.com/2012/02/pengertian-asbab-al-nuzulasbabunnuzul_6173.html
Sabtu,29 Maret 2014 Pkl. 09:00 p.m.
[3]
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran, cet. kedua, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1982), hlm. 37-39
[4] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an. (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2012) hlm 67-75.
[5] http://ferryrosstar.wordpress.com/2013/09/19/asbab-al-nuzul-ulumul-quran/
Sabtu,29 Maret 2014 Pkl.09:45 p.m.
[6] Mawardi Abdullah. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, hal 59-61
[9] http:///www.minannu.com/2013/06/pengertian-kaedah-kegunaan-
asbabun nuzul
html Minggu,
30 Maret 2014 Pkl. 02.00 p.m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar