Kelompok
9
(Sunan kalijaga)
Tazkia Azky (113511028)
Emilia Tanjung Damayanti (133711003)
Ali sajidin (1331111 48)
Vella sufah fitriyani (133111152)
Siti Fatimah (133111158)
SUNAN KALIJAGA
A. SEJARAH
HIDUP SUNAN KALIJAGA
Berdasarkan
versi Jawa, Sunan Kalijaga adalah putra seorang adipati Tuban Jawa Timur, yakni
Tumenggung Wilatikta atau Arya Teja IV. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan
Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh
guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil. Beliau diperkirakan lahir di Tuban pada
tahun 1430-an, yang dihitung dari tahun pernikahannya dengan putri Sunan Ampel,
dimana saat itu Sunan Kalijaga berumur 20 tahun. Sunan Ampel diyakini lahir
pada tahun 1401 M dan berusia 50 tahun ketika menikahkan putrinya dengan Sunan
Kalijaga.
Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh
Melaya, Pangeran Tuban dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat
Cirebon, nama Kalijaga berasal dari desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, beliau sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali. Dalam satu riwayat,
Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan
mempunyai 3 putra, yakni : Raden Umar
Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Ketika wafat beliau
dimakamkan di desa Kadilangu, sebelah Timur Laut kota Bintoro Demak.
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang
menyatakan Sunan Kalijaga
masih keturunan Arab. Namun banyak pula yang menyatakan bahwa
beliau orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa SunanKalijagaadalahketurunan Arab
silsilahnyasampai kepada Rasulullah saw. Menurut catatan Tome Pires, penguasa
Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban. Sunan
Kalijaga adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf
membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu
Abbas, paman Muhammad.
Meskipun memiliki nenek moyang yang memeluk agama Hindu,
namun sejarah mengatakan bahwa beliau dan adiknya mempelajari syariat Islam dan
juga belajar membaca al-Qur’an sejak kecil.
Widji Saksono menyebutkan bahwa sewaktu kecil, Raden
Sahid juga memiliki nama Syekh Melaya karena beliau adalah putra Tumenggung
Melayakusuma di Jepara. MalayakusumaberasaldariNegeri
Atas Angin di seberang, anak seorang ulama. Setelah tiba di Jawa, Melayakusuma
diangkat menjadi Adipati Tuban oleh Prabu Brawijaya dengan nama Tumenggung
Wilatikta. Dari sinilah muncul praduga bahwa Melayakusuma bukan putra dari Arya
Teja II, melainkan menantunya. Jadi, Retno Dumilah yang putra dari Adipati
Tuban adalah keturunan Aryo Adikara atau Ranggalawe.
Lebih lanjut Widji mengatakan bahwa nama Raden Syahid
merupakan nama yang diberikan oleh Sunan Bonang, sedangkan nama sebelumnya adalah
Raden Seco. Hal tersebut sangat memungkinkan mengingat Raden Syahid mempunyai
nenek moyang yang semua mempunyai nama Jawa. Adik kandung Raden Syahid sendiri
memiliki nama Jawa, yakni Dewi Rasowulan yang menurut informasi tertulis
menjadi istri dari seorang tokoh kejawen kondang putra seorang panglima tentara
Majapahit.
Keterangan ini berbeda dengan apa yang diungkapkan Slamet
Muljana, bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Cina yang nama aslinya Gan Si
Cang. Beliau putra dari seorang Kapten Cina yang bernama Gang Eng Cu atau Arya
Teja di Tuban. Gan Si Can memiliki saudara perempuanyang bernama Ni Gede Manila
yang selanjutnya diperistri Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel. Gan Si Can diangkat
sebagai kapten Cina di Semarang oleh Kin San atau Raden Kusen selaku orang yang
paling berkuasa pada saat itu. Atas desakan para tukang kayu yang bekerja di
galangan kapal Semarang, Gan Si Cang menyampaikan amanat dari para tukang kayu
tersebut kepada Jin Bun atau Raden Patah untuk ikut serta dalam proses
pembuatan masjid Demak. Atas persetujuan dari Jin Bun, para tukang kayu dari
Semarang itu pun akhirnya ikut serta
menyelesaikan masjid Demak di bawah pimpinan Gan Si Cang. Saka tal yang merupakan salah satu tiang masjid Demak merupakan
hasil inspirasi dari para tukang kayu yang dipimpin Gan Si Cang (Sunan
Kalijaga) sebagai Kapten Cina.tiang yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu
itu dipandang lebih kuat menahan angin laut atau taufan dibandingkan dengan
kayu utuh.
Di usia mudanya yang menyaksikan lingkungan sekitar yang
kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan
Raden Syahid bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut. Ayahnya menjawab
bahwa hal itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana
banyak untuk menghadapi pemberontakan. Merasa kurang sesuai dengan kondisi ini,
maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata dan menjadi percuri untuk
mengambil sebagian barang-barang di Gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali di
tangannya. Dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa
pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan demi rakyat jelata.
Tetapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh ayahnya dari
Kadipaten. Ia pun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi perampok orang kaya,
dan berjuluk Brandal Lokajaya. Dalam perjalanan hidupnya, Raden Syahid bertemu
dengan Sunan Bonang, yang pada mulanya merupakan sasaran perampok Raden Syahid.
Ia dibawa ke Tuban untuk berguru dan memperdalam agama Islam. Karena kesaktian
Sunan Bonang dan kearifannya, Raden Syahid bersimpuh dihadapan beliau, memohon
ampun dan berniat untuk menjadi muridnya. Semenjak peristiwa tersebut Raden
Syahid menjadi murid dari Sunan Bonang dan menuruti serta mengerjakan apa saja
yang disuruh oleh kanjeng Sunan Bonang. Raden Syahid dianjurkan oleh Sunan
Bonang untuk melakukan pertapaan dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya beliau
dijuluki gelar kalijaga.
Lalu ia menjadi pengembara yang menyebarkan agama Islam
dimana sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya. Sewaktu masih muda raden
Syahid tergolong anak muda yang cerdas, terampil, pemberani, dan berjiwa besar.
Beliau suka berguru ilmu kepada para sesepuh, seperti kepada Sunan Ampel, Sunan
Bonang, dan bahkan dari Timur terus lari ke Barat untuk berguru kepada Syekh
Syarif Hidayatullah Cirebon. Ilmu-ilmu yang diserap dari para gurunya antara
lain iaiah ilmu hakikat, ilmu syariah, ilmu kanuragan, ilmu filsafat, ilmu
kesenian, dan lain sebagainnya. Sehingga beliau dikenal masyarakat sebagai ahli
tauhid, mahir dalam ilmu syariah, menguasai ilmu strategi perjuangan dan juga
seorang filosof, bahkan ahli pula dalam bidang sastra karena syair-syairnya
yang indah, terutama syair-syair Jawa.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai mubaligh keliling. Dalam
berdakwah, beliau memiliki pola yang serupa dengan pembimbing sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung memiliki karakter
“sufistik berbasis salaf”, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Beliau
memilih seni dan kebudayaan sebagai sarana dakwah karena sifat tolerannya pada
budaya lokal.
Dari
kedua istrinya, yakni Dwi Sarokah binti Maulana Ishaq dan Siti Zaenab binti
Sunan Gunung Jati, beliau memiliki keturunan. Sedang dengn istrinya yang
ketiga, Siti Khafsah binti Sunan Ampel tidak ada keterangan yang jelas.
Perkawinan antara Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarokah melahirkan seorang putra
dan dua orang putri, yaitu Umar Syahid, Dewi Ruqayyah dan Dewi Sofiah.
Sedangkan perkawinannya dengan Siti Zaenab menurubkan beberapa putra dan putri,
yaitu Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panegak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan
Nyai Ageng Ngerang.
Menurut keterangan Widji Saksono, Sunan Kalijaga juga
memiliki seorang putra dengan Siti Zaenab yang mempunyai perilaku lain daripada
yang lain dibangkan dengan daudara-saudarannya. Dia bernama Pangeran Panggung,
yang merupakan pengikut dari Syekh Siti Jenar. Dia memiliki dua ekor anjing yang
diberi nama Ki Tokid dan Ki Imam, di mana kedua nama tersebut
diberikannya secara sengaja untuk mengejek Islam. Bahkan sikap sinisnya
terhadap Islam dilakukan dengan mengajak hewan piaraannnya tersebut masuk
Masjid dan bermain-main di dalamnya. Oleh karena tindakan tersebut Pangeran
Panggung dihukum mati dengan cara dibakar. Dalam api yang menyala tersebut
beliau tidak mati, tetapi malah berhasil membuat puisi yang dikenal dengan
Suluk Malang Sumirang.
Sunan Kalijaga mengalami perjalanan hidup jati diri.
Corak pengembangan Islam di Jawa mulai berubah dengan masuknya Sunan Kalijaga yang
berliku dan penuh dengan tantangan, terutama dalam hal pencarian sebuah hakikat
atau sebagai anggota Walisongo. Pada periode awal penyebaran Islam di Jawa,
para anggota Walisongo menyampaikan ajaran Islam secara murni dan keras. Namun,
setelah Sunan Kalijaga masuk ke Jawa, penyebarannya bersifat Islam sinkritisme,
sehingga sejarah Islami di tanah Jawa perlu dipahami asal-usulnya agar menjadi
acuan bagi umat Islam pada generasi selanjutnya, karena yang terjadi adalah
sebuah percampuran antara agama, ideologi, budaya, keyakinan, dongeng dan
cerita-cerita.
.
Islamisasi yang dilakukan Sunan Kalijaga melibatkan
unsur kesenian Jawa diharapkan dapat
legitimasi masyarakat luas, dan kredibilitas Sunan Kalijaga sebagai penyebar
dan pengembang Islam tidak perlu diragukan. Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali
yang produktif di bidang pengembangan kesenian Jawa. Bukti yang masih bisa
dinikmati oleh generasi setelahnya diantaranya adalah tembang-tembang yang
beliau ciptakan, bedug di Masjid yang berfungsi sebagai sarana memanggil orang
untuk segera melaksanakan ibadah shalat, upacara Sekaten yang disertai dengan
pertunjukkan kesenian Jawa, gamelan-gamelan, dan wayang kulit yang masih dinikmati
oleh sebagian masyarakat dahulu sampai sekarang, serta masih banyak peninggalan
beliau yang masih bisa dinikmati oleh masyarakat sampai sekarang.
Berdasarkan Babad
Tanah Jawi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Hariwijaya, Sunan Kalijaga
hidup dalam empat era dekade pemerintahan, yakni masa Majapahit (sebelum 1478
M), Kesultanan Demak (1481-1546 M), Kesultanan Pajang (1546-1568 M), dan awal
pemerintahan Mataram (1580-an).[1]
Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan abad
ke-15 dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak.[2]
B. KARYA-KARYA
SUNAN KALIJAGA
Diantara karya-karya Sunan Kalijaga yang bernuansa budaya
yang dijadikan media pengajaran agama Islam adalah sebagai berikut:
1. Kesenian
a. Seni
Pakaian, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali menciptakan baju Takwa.
Baju takwa ini pada akhirnya disempurnakan oleh Sultan Agung dengan daster
nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Setidaknya dalam upacara pengantin,
bajuini masih digunakan oleh masyarakat Jawa.
b. Seni
Suara, beliau menciptakan tembang Dandang Gula yang kemudian termaktub dalam
Serat Wulangreh dan Dandang Gula Semarangan, dimana nada tembang ini adalah
penggabungan melodi Arabia dan Jawa.
c. Seni
Ukir, dengan motif dedaunan Sunan Kalijaga membentuk Gayor atau alat untuk
menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap
seni ukir Nasional, di mana kebanyakan seni ukir sebelumnya bermotifkan manusia
dan binatang.
d. Pencipta
gamelan, beliaulah yang pertama kali menciptakan gamelan. Adapun falsafah
gamelan itu adalah sebagai berikut :
a. Kenong,
bunyinya “nong-nong-nong”, kemudian ditambah Saron yang bunyinya
“ning-ning-ning”.
b. Kempul,
yang suaranya “pung-pung-pung”.
c. Kendang,
bunyinya “tak ndang-tak ndang-tak ndang”.
d. Genjur,
yang bunyinya “nggurrr”.
Jika
semua alat tersebut berbunyi dan disatukan bunyinya maka akan tercipta suatu
harmoni berikut: “nong-ning, nong-kana, nong-kene” (di sini, di situ, di sini),
“pung-pung, mumpung-mumpung” (mumpung masih ada waktu), “pul-pul”
(kumpul-kumpul), “tak ndang-tak ndang, endang-endang” (cepat-cepat).
“nggur-njegur” (masuk masjid atau agama Islam).
e. Bedug
atau Jidor di Masjid, Sunan Kalijaga mempunyai ide menciptakan bedug dan
memenrintahkan Sunan Bayat (muridnya) untuk membuat bedug di Masjid Semarang
guna memanggil umat untuk segera shalat berjamaah.
Adapun
falsafahnya adalah, bunyi kentongan “thong-thong-thong” yang artinya masing
kotong (kosong), bunyi bedug “deng-deng-deng, isek sedeng” yang artinya masih
muat yakni di dalam Langgar atau Masjid masih cukup dan muat untuk shalat
berjamaah.
f. Gerebeg
maulud, acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga yang intinya berupa
tabligh akbar atau pengajian yang
diselenggarakan para Wali di Masjid Agung Demak untuk memperingati Maulid Nabi.
g. Gong
Sekaten, Gong ciptaan Sunan Kalijaga ini aslinya bernama Gong Syahadatain, (dua
kalimat syahadat). Bila gong ini dipukul akan berbunyi dan bermakna : di sana,
di situ, di sini, mumpung masih hidup, berkumpullah cepat untuk masuk agama
Islam.
h. Pencipta
wayang kulit dan sebagai Dalang, sebelum Sunan Kalijaga, bentuk wayang adalah
gambar yang berwujud manusia, tetapi Sunan Kalijaga merubahnya menjadi gambar
karikatur dengan nuansa seni yang tinggi. Di samping sebagai sarana hiburan,
Sunan Kalijaga memanfaatkannya sebagai sarana penyampaian dakwah Islamiyah.
i.
Ahli tata kota, hampir
semua kota di pulau Jawa dan Madura memiliki kesamaan dalam tata ruang kota. Sebab Jawa dan Madura
mayoritas penduduknya beragama Islam, dan para penguasanya meniru cara Sunan
Kalijaga dalam membangun tata kota. Tekhnik tata kota yang menjadi anutan
tersebut berupa bangunan istana atau kabupaten di tengah kota yang di depannya
terdapat lapangan luas (biasa disebut alun-alun), satu atau dua pohon beringin
dan Masjid. Alun-alun berasal dari kata “Allaun” yang artinya banyak macam atau
warna. Jika kata “Allaun” diucapkan dua kali menjadi “Allaun-Allaun”, maksudnya
menunjukkan tempat segenap rakyat dan penguasa di pusat kota. Adapun “waringin”
berasal dari kata “Waraa’in” yang
artinya orang yang sangat berhati-hati. Di Alun-alun, semua orang yang
berkumpul sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum, baik
itu undang-undang negara atau undang-undang agama, yang dilambangkan dengan dua
pohon beringin, yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi. Biasanya, alun-alun berbentuk
segi empat, hal ini dimaksudkan agar seseorang yang menjalankan ibadah harus
selalu berpedoman lengkap kepada syari’at, thariqat, haqiqat, dan ma’rifat.
Jadi, orang itu tidak dibenarkan jika hanya mempercayai hakikat tanpa
mengamalkan syari’at agama Islam.[3]
Biasanya, letak istana atau kantor
kabupaten berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Atau, letak istana
atau kabupaten itu menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para
penguasa harus menjauhi kesombongan, sedangkan menghadap ke laut berarti
penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti laut yang luas.
Sementara itu, alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau
kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan
rakyatnya.
2. Bidang
pendidikan
Sunan Kalijaga memfungsikan Masjid tidak
hanya sebagai sarana ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan mengingat
lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini belum menemukan
bentuk seperti sekarang. Masjid dan pesantren merupakan pusat keunggulan Islam
yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Banyak
sekali ajaran-ajaran Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jawa yang diantarannya
adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi. Kidung
itu merupakan bentuk tembang yang populer dan menjadi semacam Kidung Wingit karena dipercaya dapat
membawa tuah ini dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dandang Gula.[4]
C.
Gagasan sunan kalijaga (suluk linglung)
Suluk Linglung Sunan Kalijaga memiliki dimensi
psikoterapi yang sangat luas, terutama dalam konteks studi pemahaman
psikoterapi Islam. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannnya beberapa teks dalam
Suluk tersebut yang mengandung makna psikoterapi yang relatif mudah dari segi
aplikasinya, sebagaimana uraian secara ringkasberikut ini:
1.
Suluk Linglung, Pupuh
kumbang menghisap madu bait ke-3
Seseorang
yang mengalami kebingungan hati diakibatkan karena ia mengikuti hawa nafsunya.
Orang yang demikian ini tergolong orang yang menderita gangguan jiwa karena
jiwanya merasa tertekan. Mengikuti hawa nafsu, dalam konteks psikoterapi Islam,
merupakan penyakit jiwa karena pelakunya melampaui batas-batas kemanusiaan, dan
bahkan batas-batas hokum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Nafsu merupakan bagian dari diri manusia. Oleh karena itu,
hawa nafsu dilawan semampu keimanan manusia dalam menentukan nasib
kehidupannya. Salah satu metode psikoterapi Suluk Linglung Sunan Kalijaga
adalah dengan mengontrol pola makan dan pola tidur yang diyakini dapat
berpengaruh terhadap proses pengendalian hawa nafsu, yang harus disertai dengan
sikap berserah diri kepada Allah SWT.
2.
Suluk Linglung, Pupuh
kumbang menghisap madu bait ke-4
Seseorang
yang sedang mengalami kegelisahan hati dapat dikarenakan oleh kurangnya
beribadah dan bersyukur kepada Allah. Orang yang demikian ini tergolong orang
yang sombong kepada Allah. Sombong merupakan salah satu jenis gangguan jiwa
dalam kajian psikoterapi Islam karena pelakunya melampaui batas-batas
kemanusiaan, dan bahkan batas-batas hokum syar’i.
Kondisi
kesombongan ini menurut Suluk Linglung Sunan Kalijaga dapat diatasi dengan
memperbanyak istigfar (memohon ampunan) dan berdo’a kepada Allah agar
senantiasa dilimpahkan ketenangan dan ketentraman hati, serta mendapatkan petunjuk
dan solusi atas segala permasalahan hisupnya. Metode istigfar dan do’a ini juga
disertai ibadah dan syukur kepada Allah SWT.
3.
Suluk Linglung, Pupuh
kumbang menghisap madu bait ke-7
Seseorang
yang sedang mengalami kebingungan dan kegelisahan hati yang benar-benar
menderanya, yakni kecemasan tinggi yang berlanjut pada tingkat depresi,
dikarenakan oleh kesalahannya sendiri yang telah diperbuat dalam kehidupannya.
Terhadap
gangguan depresi ini, Suluk Linglung Sunan Kalijaga memberikan satu metode psikoterapi,
yakni dengan berkhalwat, sebagaimana yang pernah dilankukan Nabi Muhammad SAW
di Gua Hira’.
4.
Suluk Linglung, Pupuh
rindu kasih saying bait ke-4
Seseorang
yang sedang mengalami kebingungan tanpa arah yang jelas dapat dikarenakan oleh
kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai segala hal yang sedang
dihadapinya.
Mengenai
gangguan kebingunan ini, Suluk Linglung Sunan Kalijaga memberikan metode
tafakkur, yakni memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasan Allah,
dengan disertai dzikir didalam hati yang tentunya melibatkan unsure keimanan.
Tafakkur lebih baik dimulai dari sesuatu yang paling dekat dengan diri
seseorang, yakni bertafakkur terhadap diri sendiri.
5.
Suluk Linglung, Pupuh
kinanthi bait ke-34
Seseorang
yang sedang mengalami kebingungan sebagaimana dalam Pupuh rindu kasih sayang bait ke-4 dapat juga disebabkan oleh kondisi rohani
yang kurang baik, sehingga tingkah laku atau budi pekertinya menjadi kurang
baik pula. Gangguan kepribadian ini merupakan penyakit yang menyerang manusia,
terutama pada ruhaninya yang perlu dibenahi dan diperbaiki, karena kondisi
rohani sangat berpengaruh pada kondisi jasmani, dan terutama sekali pada
tingkah laku. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan dalam suluk Linglung Sunan
Kalijaga, yakni dengan beramar ma’ruf nahi munkar; memperbaiki diri sendiri
dengan akhlak yang terpuji dan memerintahkan orang lain untuk berbuat kebaikan,
serta membentengi diri dari gangguan kepribadian tersebut dengan menghindari
perbuatan yang tercela sekaligus mencegah orang lain dari perbuatan yang
mengingkari kebenaran Allah.
6.
Suluk Linglung, Pupuh
kinanthi bait ke-43
dan ke-44
Seseorang
yang sedang mengalami kebingungan juga dapat disebabkan karena kurangnya
manusia dalam beribadah dan mengingat Allah di tengah-tengah kesibukannya
sehari-hari, sehingga hubungan vertikalnya tidak stabil dan terhambat oleh
kepentingan-kepentingan duniawi. Oleh karena itu kepentingan duniawi hendaknya
tidak mengalahkan kepentingan ukhrawi.
Dalam kondisi
yang demikian itu, Suluk Linglung Sunan Kalijaga memberikan satu metode
psikoterapi, yakni dengan menjalankan shalat Daim yang dilakukan di luar waktu
sholat wajib dan sunnah. Sholat Daim adalah sholat secara sirri (laten) yang
dilakukan tanpa berwudlu dimanapun dan kapanpun manusia masih hidup di dunia
ini. Sholat ini ditujukan untuk selalu mengingat Allah disetiap detik nafas
manusia masih berhembus.
7.
Suluk Linglung, Pupuh
kinanthi bait ke-55
dan ke-61
Seseorang
yang sedang mengalami kecemasan tinggi dalam menghadapi kematian dikarenakan
oleh kurangnya pengetahuan mengenai agama dan keimanan. Kondisi kecemasan yang
demikian ini tergolong pada gangguan kecemasan yang tercela, karena berdampak
negatif terhadap perkembangan jiwanya.
Adapun metode
yang diungkapkan dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga untuk mengenai penyakit
ini adalah dengan meningkatkan keyakinan dan keimanan kepada Allah sebagai
Tuhan penguasa seluruh alam yang maha Pengasih dan Penyayang. Allah mengasihi
hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, baik di dunia ini hingga di akhirat
nanti. Di sisi lain, Allah juga mengasihi orang-orang yang tidak beriman
kepada-Nya, namun hanya di dunia ini saja. Kehidupan mereka di akhirat nanti
sungguh benar-benar celaka selamanya karena tidak akan mendapatkan rahmat dan
kasih sayang Allah yang tiada tara.
[1]
SriRejeki,Dimensi Psikoterapi dalam Suluk
Ling-lung Sunan Kalijaga.(Semarang
: Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010)
[2]
Badiatul, Rozikin, Kisah Teladan
Walisanga. (Jogyakarta :
DIVA Press, 2012)
[3]Badiatul
Rozikin. Kisah Teladan Walisanga. (Jogyakarta : DIVA Press, 2012)
[4]Sri Rejeki,
Dimensi Psikoterapi dalam Suluk Ling-lung SunanKalijaga .(Semarang : Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010)hal
.183-187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar