Kamis, 05 Juni 2014

sunan kalijaga



Kelompok  9  (Sunan kalijaga)
Tazkia Azky                            (113511028)
Emilia Tanjung Damayanti     (133711003)
Ali sajidin                                (1331111 48)
Vella sufah fitriyani                (133111152)
Siti Fatimah                             (133111158)
                       

SUNAN KALIJAGA
A.    SEJARAH HIDUP SUNAN KALIJAGA
Berdasarkan versi Jawa, Sunan Kalijaga adalah putra seorang adipati Tuban Jawa Timur, yakni Tumenggung Wilatikta atau Arya Teja IV. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil. Beliau diperkirakan lahir di Tuban pada tahun 1430-an, yang dihitung dari tahun pernikahannya dengan putri Sunan Ampel, dimana saat itu Sunan Kalijaga berumur 20 tahun. Sunan Ampel diyakini lahir pada tahun 1401 M dan berusia 50 tahun ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga.
            Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Melaya, Pangeran Tuban dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, beliau sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra, yakni :  Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Ketika wafat beliau dimakamkan di desa Kadilangu, sebelah Timur Laut kota Bintoro Demak.
            Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan Sunan Kalijaga masih keturunan Arab. Namun banyak pula yang menyatakan bahwa beliau orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa SunanKalijagaadalahketurunan Arab silsilahnyasampai kepada Rasulullah saw. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad.
            Meskipun memiliki nenek moyang yang memeluk agama Hindu, namun sejarah mengatakan bahwa beliau dan adiknya mempelajari syariat Islam dan juga belajar membaca al-Qur’an sejak kecil.
            Widji Saksono menyebutkan bahwa sewaktu kecil, Raden Sahid juga memiliki nama Syekh Melaya karena beliau adalah putra Tumenggung Melayakusuma di Jepara. MalayakusumaberasaldariNegeri Atas Angin di seberang, anak seorang ulama. Setelah tiba di Jawa, Melayakusuma diangkat menjadi Adipati Tuban oleh Prabu Brawijaya dengan nama Tumenggung Wilatikta. Dari sinilah muncul praduga bahwa Melayakusuma bukan putra dari Arya Teja II, melainkan menantunya. Jadi, Retno Dumilah yang putra dari Adipati Tuban adalah keturunan Aryo Adikara atau Ranggalawe.
            Lebih lanjut Widji mengatakan bahwa nama Raden Syahid merupakan nama yang diberikan oleh Sunan Bonang, sedangkan nama sebelumnya adalah Raden Seco. Hal tersebut sangat memungkinkan mengingat Raden Syahid mempunyai nenek moyang yang semua mempunyai nama Jawa. Adik kandung Raden Syahid sendiri memiliki nama Jawa, yakni Dewi Rasowulan yang menurut informasi tertulis menjadi istri dari seorang tokoh kejawen kondang putra seorang panglima tentara Majapahit.
            Keterangan ini berbeda dengan apa yang diungkapkan Slamet Muljana, bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Cina yang nama aslinya Gan Si Cang. Beliau putra dari seorang Kapten Cina yang bernama Gang Eng Cu atau Arya Teja di Tuban. Gan Si Can memiliki saudara perempuanyang bernama Ni Gede Manila yang selanjutnya diperistri Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel. Gan Si Can diangkat sebagai kapten Cina di Semarang oleh Kin San atau Raden Kusen selaku orang yang paling berkuasa pada saat itu. Atas desakan para tukang kayu yang bekerja di galangan kapal Semarang, Gan Si Cang menyampaikan amanat dari para tukang kayu tersebut kepada Jin Bun atau Raden Patah untuk ikut serta dalam proses pembuatan masjid Demak. Atas persetujuan dari Jin Bun, para tukang kayu dari Semarang  itu pun akhirnya ikut serta menyelesaikan masjid Demak di bawah pimpinan Gan Si Cang. Saka tal yang merupakan salah satu tiang masjid Demak merupakan hasil inspirasi dari para tukang kayu yang dipimpin Gan Si Cang (Sunan Kalijaga) sebagai Kapten Cina.tiang yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu itu dipandang lebih kuat menahan angin laut atau taufan dibandingkan dengan kayu utuh.
            Di usia mudanya yang menyaksikan lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan Raden Syahid bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut. Ayahnya menjawab bahwa hal itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Merasa kurang sesuai dengan kondisi ini, maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata dan menjadi percuri untuk mengambil sebagian barang-barang di Gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
            Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali di tangannya. Dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan demi rakyat jelata. Tetapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh ayahnya dari Kadipaten. Ia pun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Dalam perjalanan hidupnya, Raden Syahid bertemu dengan Sunan Bonang, yang pada mulanya merupakan sasaran perampok Raden Syahid. Ia dibawa ke Tuban untuk berguru dan memperdalam agama Islam. Karena kesaktian Sunan Bonang dan kearifannya, Raden Syahid bersimpuh dihadapan beliau, memohon ampun dan berniat untuk menjadi muridnya. Semenjak peristiwa tersebut Raden Syahid menjadi murid dari Sunan Bonang dan menuruti serta mengerjakan apa saja yang disuruh oleh kanjeng Sunan Bonang. Raden Syahid dianjurkan oleh Sunan Bonang untuk melakukan pertapaan dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya beliau dijuluki gelar kalijaga.
            Lalu ia menjadi pengembara yang menyebarkan agama Islam dimana sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya. Sewaktu masih muda raden Syahid tergolong anak muda yang cerdas, terampil, pemberani, dan berjiwa besar. Beliau suka berguru ilmu kepada para sesepuh, seperti kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan bahkan dari Timur terus lari ke Barat untuk berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah Cirebon. Ilmu-ilmu yang diserap dari para gurunya antara lain iaiah ilmu hakikat, ilmu syariah, ilmu kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian, dan lain sebagainnya. Sehingga beliau dikenal masyarakat sebagai ahli tauhid, mahir dalam ilmu syariah, menguasai ilmu strategi perjuangan dan juga seorang filosof, bahkan ahli pula dalam bidang sastra karena syair-syairnya yang indah, terutama syair-syair Jawa.
            Sunan Kalijaga dikenal sebagai mubaligh keliling. Dalam berdakwah, beliau memiliki pola yang serupa dengan pembimbing sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung memiliki karakter “sufistik berbasis salaf”, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Beliau memilih seni dan kebudayaan sebagai sarana dakwah karena sifat tolerannya pada budaya lokal.
                        Dari kedua istrinya, yakni Dwi Sarokah binti Maulana Ishaq dan Siti Zaenab binti Sunan Gunung Jati, beliau memiliki keturunan. Sedang dengn istrinya yang ketiga, Siti Khafsah binti Sunan Ampel tidak ada keterangan yang jelas. Perkawinan antara Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarokah melahirkan seorang putra dan dua orang putri, yaitu Umar Syahid, Dewi Ruqayyah dan Dewi Sofiah. Sedangkan perkawinannya dengan Siti Zaenab menurubkan beberapa putra dan putri, yaitu Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panegak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.
            Menurut keterangan Widji Saksono, Sunan Kalijaga juga memiliki seorang putra dengan Siti Zaenab yang mempunyai perilaku lain daripada yang lain dibangkan dengan daudara-saudarannya. Dia bernama Pangeran Panggung, yang merupakan pengikut dari Syekh Siti Jenar. Dia memiliki dua ekor anjing yang diberi nama Ki Tokid dan Ki Imam, di mana kedua nama tersebut diberikannya secara sengaja untuk mengejek Islam. Bahkan sikap sinisnya terhadap Islam dilakukan dengan mengajak hewan piaraannnya tersebut masuk Masjid dan bermain-main di dalamnya. Oleh karena tindakan tersebut Pangeran Panggung dihukum mati dengan cara dibakar. Dalam api yang menyala tersebut beliau tidak mati, tetapi malah berhasil membuat puisi yang dikenal dengan Suluk Malang Sumirang.
             
            Sunan Kalijaga mengalami perjalanan hidup jati diri. Corak pengembangan Islam di Jawa mulai berubah dengan masuknya Sunan Kalijaga yang berliku dan penuh dengan tantangan, terutama dalam hal pencarian sebuah hakikat atau sebagai anggota Walisongo. Pada periode awal penyebaran Islam di Jawa, para anggota Walisongo menyampaikan ajaran Islam secara murni dan keras. Namun, setelah Sunan Kalijaga masuk ke Jawa, penyebarannya bersifat Islam sinkritisme, sehingga sejarah Islami di tanah Jawa perlu dipahami asal-usulnya agar menjadi acuan bagi umat Islam pada generasi selanjutnya, karena yang terjadi adalah sebuah percampuran antara agama, ideologi, budaya, keyakinan, dongeng dan cerita-cerita.
            .
            Islamisasi yang dilakukan Sunan Kalijaga melibatkan unsur  kesenian Jawa diharapkan dapat legitimasi masyarakat luas, dan kredibilitas Sunan Kalijaga sebagai penyebar dan pengembang Islam tidak perlu diragukan. Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang produktif di bidang pengembangan kesenian Jawa. Bukti yang masih bisa dinikmati oleh generasi setelahnya diantaranya adalah tembang-tembang yang beliau ciptakan, bedug di Masjid yang berfungsi sebagai sarana memanggil orang untuk segera melaksanakan ibadah shalat, upacara Sekaten yang disertai dengan pertunjukkan kesenian Jawa, gamelan-gamelan, dan wayang kulit yang masih dinikmati oleh sebagian masyarakat dahulu sampai sekarang, serta masih banyak peninggalan beliau yang masih bisa dinikmati oleh masyarakat sampai sekarang.
            Berdasarkan Babad Tanah Jawi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Hariwijaya, Sunan Kalijaga hidup dalam empat era dekade pemerintahan, yakni masa Majapahit (sebelum 1478 M), Kesultanan Demak (1481-1546 M), Kesultanan Pajang (1546-1568 M), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an).[1]
 Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan abad ke-15 dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak.[2]

B.     KARYA-KARYA SUNAN KALIJAGA
            Diantara karya-karya Sunan Kalijaga yang bernuansa budaya yang dijadikan media pengajaran agama Islam adalah sebagai berikut:
1.      Kesenian
a.       Seni Pakaian, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali menciptakan baju Takwa. Baju takwa ini pada akhirnya disempurnakan oleh Sultan Agung dengan daster nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Setidaknya dalam upacara pengantin, bajuini masih digunakan oleh masyarakat Jawa.
b.      Seni Suara, beliau menciptakan tembang Dandang Gula yang kemudian termaktub dalam Serat Wulangreh dan Dandang Gula Semarangan, dimana nada tembang ini adalah penggabungan melodi Arabia dan Jawa.
c.       Seni Ukir, dengan motif dedaunan Sunan Kalijaga membentuk Gayor atau alat untuk menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional, di mana kebanyakan seni ukir sebelumnya bermotifkan manusia dan binatang.
d.      Pencipta gamelan, beliaulah yang pertama kali menciptakan gamelan. Adapun falsafah gamelan itu adalah sebagai berikut :
a.       Kenong, bunyinya “nong-nong-nong”, kemudian ditambah Saron yang bunyinya “ning-ning-ning”.
b.      Kempul, yang suaranya “pung-pung-pung”.
c.       Kendang, bunyinya “tak ndang-tak ndang-tak ndang”.
d.      Genjur, yang bunyinya “nggurrr”.
Jika semua alat tersebut berbunyi dan disatukan bunyinya maka akan tercipta suatu harmoni berikut: “nong-ning, nong-kana, nong-kene” (di sini, di situ, di sini), “pung-pung, mumpung-mumpung” (mumpung masih ada waktu), “pul-pul” (kumpul-kumpul), “tak ndang-tak ndang, endang-endang” (cepat-cepat). “nggur-njegur” (masuk masjid atau agama Islam).
e.       Bedug atau Jidor di Masjid, Sunan Kalijaga mempunyai ide menciptakan bedug dan memenrintahkan Sunan Bayat (muridnya) untuk membuat bedug di Masjid Semarang guna memanggil umat untuk segera shalat berjamaah.
Adapun falsafahnya adalah, bunyi kentongan “thong-thong-thong” yang artinya masing kotong (kosong), bunyi bedug “deng-deng-deng, isek sedeng” yang artinya masih muat yakni di dalam Langgar atau Masjid masih cukup dan muat untuk shalat berjamaah.
f.       Gerebeg maulud, acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga yang intinya berupa tabligh  akbar atau pengajian yang diselenggarakan para Wali di Masjid Agung Demak untuk memperingati Maulid Nabi.
g.      Gong Sekaten, Gong ciptaan Sunan Kalijaga ini aslinya bernama Gong Syahadatain, (dua kalimat syahadat). Bila gong ini dipukul akan berbunyi dan bermakna : di sana, di situ, di sini, mumpung masih hidup, berkumpullah cepat untuk masuk agama Islam.
h.      Pencipta wayang kulit dan sebagai Dalang, sebelum Sunan Kalijaga, bentuk wayang adalah gambar yang berwujud manusia, tetapi Sunan Kalijaga merubahnya menjadi gambar karikatur dengan nuansa seni yang tinggi. Di samping sebagai sarana hiburan, Sunan Kalijaga memanfaatkannya sebagai sarana penyampaian dakwah Islamiyah.
i.        Ahli tata kota, hampir semua kota di pulau Jawa dan Madura memiliki kesamaan  dalam tata ruang kota. Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya beragama Islam, dan para penguasanya meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun tata kota. Tekhnik tata kota yang menjadi anutan tersebut berupa bangunan istana atau kabupaten di tengah kota yang di depannya terdapat lapangan luas (biasa disebut alun-alun), satu atau dua pohon beringin dan Masjid. Alun-alun berasal dari kata “Allaun” yang artinya banyak macam atau warna. Jika kata “Allaun” diucapkan dua kali menjadi “Allaun-Allaun”, maksudnya menunjukkan tempat segenap rakyat dan penguasa di pusat kota. Adapun “waringin” berasal dari kata “Waraa’in”  yang artinya orang yang sangat berhati-hati. Di Alun-alun, semua orang yang berkumpul sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum, baik itu undang-undang negara atau undang-undang agama, yang dilambangkan dengan dua pohon beringin, yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi. Biasanya, alun-alun berbentuk segi empat, hal ini dimaksudkan agar seseorang yang menjalankan ibadah harus selalu berpedoman lengkap kepada syari’at, thariqat, haqiqat, dan ma’rifat. Jadi, orang itu tidak dibenarkan jika hanya mempercayai hakikat tanpa mengamalkan syari’at agama Islam.[3]
Biasanya, letak istana atau kantor kabupaten berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Atau, letak istana atau kabupaten itu menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedangkan menghadap ke laut berarti penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti laut yang luas. Sementara itu, alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.

2.      Bidang pendidikan
Sunan Kalijaga memfungsikan Masjid tidak hanya sebagai sarana ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan mengingat lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini belum menemukan bentuk seperti sekarang. Masjid dan pesantren merupakan pusat keunggulan Islam yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Banyak sekali ajaran-ajaran Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jawa yang diantarannya adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi. Kidung itu merupakan bentuk tembang yang populer dan menjadi semacam Kidung Wingit karena dipercaya dapat membawa tuah ini dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dandang Gula.[4]


C.    Gagasan sunan kalijaga (suluk linglung)
Suluk Linglung Sunan Kalijaga memiliki dimensi psikoterapi yang sangat luas, terutama dalam konteks studi pemahaman psikoterapi Islam. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannnya beberapa teks dalam Suluk tersebut yang mengandung makna psikoterapi yang relatif mudah dari segi aplikasinya, sebagaimana uraian secara ringkasberikut ini:
1.      Suluk Linglung, Pupuh kumbang menghisap madu bait ke-3
Seseorang yang mengalami kebingungan hati diakibatkan karena ia mengikuti hawa nafsunya. Orang yang demikian ini tergolong orang yang menderita gangguan jiwa karena jiwanya merasa tertekan. Mengikuti hawa nafsu, dalam konteks psikoterapi Islam, merupakan penyakit jiwa karena pelakunya melampaui batas-batas kemanusiaan, dan bahkan batas-batas hokum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Nafsu merupakan  bagian dari diri manusia. Oleh karena itu, hawa nafsu dilawan semampu keimanan manusia dalam menentukan nasib kehidupannya. Salah satu metode psikoterapi Suluk Linglung Sunan Kalijaga adalah dengan mengontrol pola makan dan pola tidur yang diyakini dapat berpengaruh terhadap proses pengendalian hawa nafsu, yang harus disertai dengan sikap berserah diri kepada Allah SWT.
2.      Suluk Linglung, Pupuh kumbang menghisap madu bait ke-4
Seseorang yang sedang mengalami kegelisahan hati dapat dikarenakan oleh kurangnya beribadah dan bersyukur kepada Allah. Orang yang demikian ini tergolong orang yang sombong kepada Allah. Sombong merupakan salah satu jenis gangguan jiwa dalam kajian psikoterapi Islam karena pelakunya melampaui batas-batas kemanusiaan, dan bahkan batas-batas hokum syar’i.
Kondisi kesombongan ini menurut Suluk Linglung Sunan Kalijaga dapat diatasi dengan memperbanyak istigfar (memohon ampunan) dan berdo’a kepada Allah agar senantiasa dilimpahkan ketenangan dan ketentraman hati, serta mendapatkan petunjuk dan solusi atas segala permasalahan hisupnya. Metode istigfar dan do’a ini juga disertai ibadah dan syukur kepada Allah SWT.
3.      Suluk Linglung, Pupuh kumbang menghisap madu bait ke-7
Seseorang yang sedang mengalami kebingungan dan kegelisahan hati yang benar-benar menderanya, yakni kecemasan tinggi yang berlanjut pada tingkat depresi, dikarenakan oleh kesalahannya sendiri yang telah diperbuat dalam kehidupannya.
Terhadap gangguan depresi ini, Suluk Linglung Sunan Kalijaga memberikan satu metode psikoterapi, yakni dengan berkhalwat, sebagaimana yang pernah dilankukan Nabi Muhammad SAW di Gua Hira’.
4.      Suluk Linglung, Pupuh rindu kasih saying bait ke-4
Seseorang yang sedang mengalami kebingungan tanpa arah yang jelas dapat dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai segala hal yang sedang dihadapinya.
Mengenai gangguan kebingunan ini, Suluk Linglung Sunan Kalijaga memberikan metode tafakkur, yakni memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasan Allah, dengan disertai dzikir didalam hati yang tentunya melibatkan unsure keimanan. Tafakkur lebih baik dimulai dari sesuatu yang paling dekat dengan diri seseorang, yakni bertafakkur terhadap diri sendiri.
5.      Suluk Linglung, Pupuh kinanthi bait ke-34
Seseorang yang sedang mengalami kebingungan sebagaimana dalam Pupuh rindu kasih sayang bait ke-4 dapat juga disebabkan oleh kondisi rohani yang kurang baik, sehingga tingkah laku atau budi pekertinya menjadi kurang baik pula. Gangguan kepribadian ini merupakan penyakit yang menyerang manusia, terutama pada ruhaninya yang perlu dibenahi dan diperbaiki, karena kondisi rohani sangat berpengaruh pada kondisi jasmani, dan terutama sekali pada tingkah laku. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan dalam suluk Linglung Sunan Kalijaga, yakni dengan beramar ma’ruf nahi munkar; memperbaiki diri sendiri dengan akhlak yang terpuji dan memerintahkan orang lain untuk berbuat kebaikan, serta membentengi diri dari gangguan kepribadian tersebut dengan menghindari perbuatan yang tercela sekaligus mencegah orang lain dari perbuatan yang mengingkari kebenaran Allah.
6.      Suluk Linglung, Pupuh kinanthi bait ke-43 dan ke-44
Seseorang yang sedang mengalami kebingungan juga dapat disebabkan karena kurangnya manusia dalam beribadah dan mengingat Allah di tengah-tengah kesibukannya sehari-hari, sehingga hubungan vertikalnya tidak stabil dan terhambat oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Oleh karena itu kepentingan duniawi hendaknya tidak mengalahkan kepentingan ukhrawi.
Dalam kondisi yang demikian itu, Suluk Linglung Sunan Kalijaga memberikan satu metode psikoterapi, yakni dengan menjalankan shalat Daim yang dilakukan di luar waktu sholat wajib dan sunnah. Sholat Daim adalah sholat secara sirri (laten) yang dilakukan tanpa berwudlu dimanapun dan kapanpun manusia masih hidup di dunia ini. Sholat ini ditujukan untuk selalu mengingat Allah disetiap detik nafas manusia masih berhembus.
7.      Suluk Linglung, Pupuh kinanthi bait ke-55 dan ke-61
Seseorang yang sedang mengalami kecemasan tinggi dalam menghadapi kematian dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai agama dan keimanan. Kondisi kecemasan yang demikian ini tergolong pada gangguan kecemasan yang tercela, karena berdampak negatif terhadap perkembangan jiwanya.
Adapun metode yang diungkapkan dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga untuk mengenai penyakit ini adalah dengan meningkatkan keyakinan dan keimanan kepada Allah sebagai Tuhan penguasa seluruh alam yang maha Pengasih dan Penyayang. Allah mengasihi hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, baik di dunia ini hingga di akhirat nanti. Di sisi lain, Allah juga mengasihi orang-orang yang tidak beriman kepada-Nya, namun hanya di dunia ini saja. Kehidupan mereka di akhirat nanti sungguh benar-benar celaka selamanya karena tidak akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah yang tiada tara.



[1] SriRejeki,Dimensi Psikoterapi dalam Suluk Ling-lung Sunan Kalijaga.(Semarang : Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010)
[2] Badiatul, Rozikin, Kisah Teladan Walisanga. (Jogyakarta : DIVA Press, 2012)
[3]Badiatul Rozikin. Kisah Teladan Walisanga. (Jogyakarta : DIVA Press, 2012)
[4]Sri Rejeki, Dimensi Psikoterapi dalam Suluk  Ling-lung  SunanKalijaga .(Semarang : Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010)hal .183-187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar