MAKALAH
Peradaban Islam Indonesia Pra Kemerdekaan
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Sejarah Peradaban
Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, M.S.I.

Miftachus Sholichah (133711001)
Emilia Tanjung Damayanti (133711003)
Siti Nur Jannah (133711010)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2014
I.
PENDAHULUAN
Di antara agama-agama yang pengembangan
dan penyiarannya paling cepat dan dinamis di Indonesia adalah agama Islam. Hal
ini karena ajaran-ajarannya bersifat terbuka dan tidak memberatkan. Penyebaran
agama Islam di Indonesia menggunakan berbagai sarana, diantaranya melalui
perdagangan, perkawinan, pendidikan dan kesenian. Islam memberikan kontribusi
yang positif dalam masyarakat maupun pemerintahan. Dalam perjalanannya Islam
memberikan pengaruh bagi Nusantara baik dalam bidang agama, politik maupun
sosial. Karena dalam agama Islam tidak hanya berisi soal agama, namun juga
mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam cakrawala kehidupan
solidaritas beragama. Ketika Islam datang, sebenarnya Nusantara sudah memiliki
peradaban yang bersumber dari Hindu-Budha. Walaupun demikian Islam tetap dapat
cepat menyebar. Islam menjadikan Nusantara lebih maju, bermula dari kota-kota
pelabuhan, lalu ke lingkungan istana, sehingga istana menjadi pusat
pengembangan agama, ekonomi, intelektual dan politik.
Di tengah proses islamisasi datang para
pedagang Barat yang ingin membawa nafsu kolonialisme bidang ekonomi-politik,
mereka ingin menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam dan menguasai Nusantara
menggunakan kekerasan, terutama dengan teknologi persenjataan yang lebih
unggul. Itulah sebabnya sejak abad XVI M Nusantara mulai kehilangan
kemerdekaan. Sejak saat itu pula Islam menjadi lambang perlawanan menghadapi
kolonialisme. Walaupun proses islamisasi pada waktu itu belum sempurna, namun
islam sudah berfungsi sebagai kekuatan pendorong perlawanan terhadap penjajah
sekaligus sebagai lambang pemersatu. Ajaran Islam dapat menumbuhkan jiwa
patriotisme sebagai bagian dari iman yang berorientasi ke arah persatuan
seluruh kepulauan Nusantara.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah teori
kedatangan Islam di Indonesia?
B.
Bagaimanakah sejarah
awal masuknya Islam di Indonesia?
C.
Bagaimanakah kondisi
agama dan kekuatan politik masa kolonialisme?
III.
PEMBAHASAN
A.
Teori kedatangan Islam
di Indonesia
Kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan
secara damai, hal ini berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang
dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Islam
dalam batas tertentu disebarkan oleh para pedagang kemudian oleh para guru agama
dan para sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama tersebut tidak
mengharapkan pamrih. Hal itu mereka lakukan dengan maksud untuk menunaikan
kewajiban sehingga banyak dari mereka yang namanya berlalu begitu saja. Tidak
ada catatan sejarah yang mereka buat untuk mengabadikan peran mereka. Selain
itu wilayah Indonesia juga sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi.
Oleh karena itu terdapat beragam pendapat mengenai teori masuknya Islam ke Indonesia,
kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Indonesia.
Menurut Machfud Syaefuddin, Khafidi,
dkk, Islam datang, berkembang dan melembaga di Nusantara melalui proses yang
panjang. Pergumulan di dalam proses Islamisasi di Nusantara sekurang-kurangnya
menghasilkan empat teori besar tentang di mana, kapan, dan dari mana Islam
datang dan berkembang di Nusantara.[1]
Teori pertama menyatakan bahwa Islam
datang dari anak benua India. Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh G. W. J.
Drewes, kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Alasan Drewes ialah
orang-orang Arab bermadzab Syafi’i yang menetap di Gujarat dan Malabar itulah
yang mengembangkan Islam di Nusantara. Sedangkan Hurgronje berpendapat bahwa
ketika komunitas Islam di anak benua India-Muslim, Deccan telah kokoh, maka
mereka mulai menyebarkan Islam ke tempat lain, termasuk wilayah Nusantara
dengan cara menjadi pedagang perantara yang menghubungkan wilayah Timur Tengah
dengan wilayah Asia Tenggara sambil menjadi penyebar Islam. Mereka ini adalah
keturunan Nabi, karena kebanyakan bergelar sayyid atau syarif. Mouqette
berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara melalui Gujarat. Ia berargumentasi
bahwa berdasarkan analisis terhadap batu nisan Malik Ibrahim ternyata sama
dengan batu nisan di Cambai Gujarat.
Kedua, teori yang menyatakan bahwa Islam
datang dari Bengal sebagaimana diungkapkan oleh S. Q. Fatimi. Dia beranggapan
bahwa teori batu nisan di makam Malik al-Shaleh sama sekali berbeda dengan batu
nisan di Gujarat, akan tetapi batu nisan Fatimah binti Maimun di Leran Jawa
Timur bertahun 475 H (1082 M), justru memiliki kesamaan dengan batu nisan di
Bengal.
Teori ketiga menyatakan bahwa Islam
datang ke Indonesia melalui Coromadel dan Malabar. Sejarawan yang berpendapat
seperti ini adalah Thomas W. Arnold, alasannya wilayah ini memiliki kawasan
madzhab dengan wilayah Nusantara waktu itu. Teori ini juga didukung oleh
Marrison. Menurutnya, tidak mungkin Islam datang dari Gujarat, sebab secara
politis Gujarat belum memungkinkan menjadi sumber penyebaran ketika itu dan
belum menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan antara wilayah Nusantara
dengan wilayah Timur Tengah.
Teori keempat, menyatakan bahwa Islam
datang dari sumber aslinya yaitu Arab. Sejarawan Asia Tenggara yang mengemukakan
teori ini adalah Naguib Al-Attas. Teori ini beranggapan bahwa untuk melihat
Islam di Asia Tenggara itu datang dari mana, maka yang harus dipertimbangkan
ialah kajian terhadap teks-teks atau literatur Islam Melayu Indonesia dan
sejarah pandangan Melayu terhadap berbagai istilah atau konsep, kunci yang
digunakan oleh para penulis Islam di Asia Tenggara pada abad X - XI H. (XVI - XVII
M). Pendapat ini senada dengan kesimpulan hasil seminar Sejarah Masuknya Islam
di Indonesia melalui saluran langsung dari Arab abad pertama hijrah dan daerah
yang mula-mula memeluk Islam ialah Aceh. Diantara sejarawan yang berpendapat
Islam Arab, khususnya Hadramaut dan Mesir ialah Crawfurd (1820), Keyzer (1859),
Nuemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878).
Secara garis besar perbedaan tersebut dikelompokkan menjadi tiga:[2]
1.
Pendapat pertama
dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, di antaranya Snouck Hurgronje
yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad XIII M dari Gujarat
(bukan dari arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama
Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang
dikatakan berasal dari Gujarat.
2.
Pendapat kedua
dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya prof. Hamka, yang
mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963.
Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada
abad pertama hijriyah (± abad VII sampai abad VIII) langsung dari Arab dengan
bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh
sebelum abad XIII M (yaitu sudah sejak abad VII M) melalui selat Malaka yang
menghubungkan dinasti tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara,
dan Bani Umayyah di Asia Barat.
3.
Sarjana muslim
kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut
pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama
hijriyah sekitar abad VII M sampai VIII M, tetapi baru dianut oleh pedagang
Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran
dan menguasai kekuatan politik pada abad XIII M dengan berdirinya kerajaan
Samudrai Pasai. Hal ini terjadi akibat arus kehancuran Baghdad ibukota
Abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang muslim mengalihkan
aktivitas perdagangan ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
B.
Sejarah awal masuknya
islam di indonesia
Istilah “sejarah”, menurut Sayid Quthub, bukan diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa masa lampau, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa dan
pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin
seluruh bagian serta memberinya dinamisme dalam waktu dan tempat. Dalam
perspektif demikian, sejarah tidak bisa terlepas dari faktor pemahaman sang
penafsir sejarah (author), konteks ruang dan waktu, dan
peristiwa-peristiwa terkait ketika “sejarah” tersebut dipanggungkan di ranah
publik. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan jika kita menemukan
perbedaan-perbedaan substansial pada penulisan sejarah, baik nama tokoh,
penyebutan tempat, penulisan tahun, bahkan narasi kejadian yang menjadi fakta
cerita pada setiap adegannya.
Beberapa sumber sejarah mengenai masuknya Islam ke
Indonesia dapat digolongkan menjadi dua :[3]
1. Sumber Ekstern
a. Berita Arab
Pada abad VII M. Di mana kesultanan Sriwijaya sedang
berkembang menuju ke kesultanan maritim, telah banyak pedagang Arab yang
mengadakan hubungan dengan masyarakat Zabag/Sriwijaya.
b. Berita Eropa
Pada tahun 1292 M., Marco Polo, orang Eropa (Italia)
pertama yang menginjakkan kakinya ke Indonesia kembali dari Cina ke Eropa
melalui jalan laut. Ketika ia singgah ke Perlak (Peurelak) pemeluknya telah
memeluk agama Islam dan telah terdapat kesultanan yaitu Kesultanan Samudra
Pasai.
c. Berita India
Para pedagang Gujarat India, di samping berdagang juga
menyebarkan agama Islam di pesisir pantai.
d. Berita Cina
Dikatakan oleh Ma Huan (Sekertaris Laksamana Cheng Ho)
bahwa pada tahun 1400 M. Telah ada pedagang-pedagang Islam tinggal di pantai
utara Jawa.
2. Sumber Intern
a. Batu nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) yang bertuliskan
Arab di Leran Gresik.
b. Makam Sultan Malik al-Shaleh (1297 M) di Sumatra
c.
Makam Syaikh Maulana Malik Ibrohim (1419 M) di Gresik.
Sejak
zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada
rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai
daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka
sejak zaman kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama
karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi pedagang, dan menjadi daerah
lintasan yang penting antara Cina dan India. Sementara itu pala dan cengkeh
yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian
dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa
antara abad I dan ke VII M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri
(Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Pedagang-pedagang
asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk
berdagang sejak abad VII M, ketika Islam pertama kali berkembang di Timur
Tengah. Malaka merupakan pusat pelayaran dan perdagangan. Melalui Malaka, hasil
hutan dan rempah-rempah dari pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India,
terutama Gujarat yang waktu itu melakukan hubungan perdagangan langsung dengan
Malaka. Dengan demikian Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting.
Menurut J.C. Van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalana dapat diperkirakan
bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu Barus,
daerah penghasil kapur barus terkenal. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa di
masa dinasti Tang (abad IX-X) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton (Kan-fu)
dan Sumatra. Ta-Shih adalah sebutan
untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi muslim.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara
negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur mungkin di sebabkan oleh kegiatan
kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Cina zaman
dinasti Tang di Asia bagian timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Akan tetapi, menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia
di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama
Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan,
ialah para pedagang Arab tersebut hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik
bagi pelayaran.
Baru
pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk Islam, tentu bermula
dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad XIII
M, masyarakat muslim sudah ada di Sumatra Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatra. Di jawa,
makam Fatimah binti Maimum di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082
M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad XIII M merupakan
bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa
ketika itu, Majapahit. Namun, sumber sejarah yang shahih yang memberikan
kesaksian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya
masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi
tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komunitas Islam” berubah
menjadi pusat kekuasaan.
Sampai
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia
dapat dibagi menjadi tiga fase. Singgahnya pedagang-pedagang Islam di
pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama
Cina. Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia.
Sumbernya, di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam, dan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam.[4]
Bersamaan
dengan para pedagang datang pula da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui
jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang dari
negeri-negeri di ketiga bagian benua asia itu. Hal itu memunculkan hubungan
timbal balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat muslim. Pertumbuhan
perkampungan ini makin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat
ekonomis, tetapi membentuk struktur pemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu,
kepala suku Gampung Samudra menjadi Sultan Malik As-Soleh.
Dari
paparan di atas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya islam ke indonesia adalah
melalui saluran-saluran sebagai berikut:[5]
1.
Perdagangan,
menggunakan sarana pelayaran.
2.
Dakwah, yang dilakukan
pleh mubaligh yanbg berdatangan bersama para pedagang. Para mubaligh itu bisa
jadi juga para sufi yang mengembara.
3.
Perkawinan, yaitu
perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan
memepercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga muslim dan masyarakat
muslim. Dengan perkawinan, secara tidak langsung orang tersebut status
sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan. Terlebih apabila
pedagang besar kawin dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat
birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain.
4.
Pendidikan, setelah
kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di
bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi
pusat pendidikan dan pe nyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam
di kerajaan Samudra Pasai sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi
pelajar-pelajar.
5.
Tasawuf dan tarekat.
Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama,
da’i, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat
menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan.
Para sufi
menyebarkan Islam melalui dua cara:
a.
Dengan membentuk kader
mubaligh, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama Islam di daerah
asalnya.
b.
Melalui karya-karya
tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat. Di abad XVII, Aceh adalah pusat perkembangan
karya-karya keagamaan yang ditulis para ulama dan para sufi.
6.
Kesenian, saluran yang
banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Walisongo, terutama Sunan Kalijogo, mempergunakan banyak cabang seni untuk
islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni bahasa.
Sedangkan
menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada
enam, yaitu: [6]
1.
Saluran perdagangan
Pada tahap
permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas
perdagangan pada abad VII hingga XVI M. Membuat pedagang-pedagang muslim turut
ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan
timur benua asia. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat
menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan
perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat
Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui perdagangan di pesisir
Pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang muslim banyak
yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir.
Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid, sehingga jumlah mereka menjadi banyak,
dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang jawa dan kaya-kaya. Di
beberapa tempat, penguasa-penguasa jawa, yang menjabat sebagai bupati Majapahit
yang ditempatkan di pesisir utara jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya
karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena
faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim. Dalam perkembangan
selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat
tinggalnya.
2.
Saluran perkawinan
Dari
sudut ekonomi para pedagang muslim memiliki status sosial yang tinggi baik
daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri
bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar kaya. Sebelum kawin
mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan,
lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah
dan kerajaan-kerajaan muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita muslim
yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini
masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila
terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak
adipati karena raja, adipati, atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat
proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan
Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (Raden
pertama Demak).
3.
Saluran tasawuf
Pengajar-pengajar
tasawuf atau para sufi, megajarkan teosofi yag bercampur dengan ajaran yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal
magis dan mempunyai kekuata-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga
yang mengawini putri-putri bagsawan setempat. Dengan tasawuf, bentuk islam yang
diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran
mereka yang sebelumnya menganut agama Hidu, sehingga agama itu mudah dimengerti
dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang
mengandung persamaan dengan alam pikira Indonesia pra-islam adala Hamzah
Fansuri di Aceh.
4.
Saluran Pendidikan
Islamisasi
juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiyai-kiyai, dan para ulama. Di pesantren
atau pondok itu, para santri mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari
pesantren mereka pulang ke kampung masing-masing atau ke tempat tertentu untuk
mengajarkan Islam. Misalnya, pesantrern yang didirikan oleh Raden Rahmat di
Ampel Denta, Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Alumni pesantrenn Giri ini
banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
5.
Saluran Kesenian
Saluran
islamisasi melalui penndidikan yang paling terkenal ialah pertunjukan wayang.
Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang
mahir dalam mementaskan wayanng. Dia tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan
kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita
Mahabharata dan Ramayana, tetapi dicerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama
pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti
hikayat, babad, seni bangunan dan seni ukir.
6.
Saluran politik
Di Maluku dan
Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyatnya memeluk Islam setelah rajanya mamaluk
Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh dalam
penyebaran Islam di daerah ini.
C.
Agama dan kekuatan
politik masa kolonialisme
Masalah
politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, pemerintahan,
lembaga-lembaga, dan proses politik, hubungan internasional, dan tata
pemerintahan.[7]
Pada
masa awal Islamisasi Nusantara, sultan dibantu oleh ulama yang menjadi
penasihatnya menggunakan agama sebagai sarana untuk memperkuat diri dalam
menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam
kehidupan politik, ekonomi dan keagamaan. Hal ini terlihat bagaimana
sultan-sultan mengadakan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain, misalnya
Kerajaan Pasai mengawinkan putrinya dengan raja muda Malaka yang semula masih
Hindu bernama Prameswaramenjadi raja Muslim bergelar Megat Iskandar Syah dan
diangkat sebagai raja pertama Kerajaan Islam Malaka. Contoh lain adalah
perkawinan Meurah Silu Raja Samudra dengan putri kerajaan Perlak yang muslimah
dan menggabungkan kedua kerajaan menjadi kerajaan Samudra Pasai dan Meurah Silu
bergelar Malik As-Saleh sebagai raja pertamanya, perkawinan Putri Trenggono
Raja Demak dengan Joko Tingkir keturunan Majapahit, persekutuan Kerajaan Demak
dengan Cirebon untuk menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa, serta persekutuan
Fadlilah Khan dari Pasai dengan Cirebon dan Demak untuk mengusir Portugis dari
Sunda Kelapa.
Pada
tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik Pulau Jawa dengan
Perjanjian Giyanti, karena itu raja jawa kehilangan kekuasaan politiknya.
Bahkan, kewibawaan raja sangat tergantung kepada VOC. Campur tangan kolonial
terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga ulama-ulama keraton sebagai
penasihat raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara
penguasa kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Eksploitasi hasil bumi
rakyat untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda merajalela, penggusuran
dan perampasan tanah milik rakyat untuk kepentingan pemerintah semakin
digalakkan. Raja-raja tradisional jarang membanrtu rakyat, bahkan setelah
mendapat gaji, mereka memihak kepada tuannya (Belanda). Rakyat ketakutan dan
kesulitan menghadapi Belanda. Dalam kondisi seperti ini rakyat mencari pemimpin
nonformal (ulama, kiyai, bangsawan) yang masih memperhatikan mereka. Pusat kekuatan
politik berpindah dari istana keluar, yaitu ke wilayah-wilayah yang jauh dari
istana, salah satunya ke pesantren-pesantren yang kemudian menjadi basis
pahlawan.
Keterlibatan
para ulama dalam politik hampir sama tuanya dengan sejarah peradaban islam. Hal
ini disebabkan islam sebagai sebuah agama tidak hanya mengajarkan tata cara
ibadah untuk kecenderungan akhirat belaka, tetapi juga mengajarkan tata cara
bermuamalah, berinteraksi sosial dan urusan dunia. Islam banyak mengajarkan
nilai-nilai noral dalam masyarakat dan bernegara, baik dalam lingkup lokal
maupun internasional untuk konteks Indonesia, peran ulama dalam bidang politik
pada zaman kerajaan-kerajaan Islam terwujud dalam peranannya sebagai penasihat
raja-raja atau sultan untuk menentukan langkah-langkah politiknya. Namun ketika
sulata-sultan sudah tidak mempunyai kekuatan politik lagi, maka para ulama
berperan sendiri menggalang rakyat yang tidak punya raja karena rajanya sudah
dikalahkan penjajah. Ulama, atas nama islam menggalang kekuatan untuk melawan
penjajah, terjadilah Jerang Jawa (1825-1830) dipelopori Pangeran Diponegoro
didampingi Kiyai Mojo (1873-1904). Walaupun perang besar ini berakhir dengan
kekalahan, tetapi peran politik ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam
Indonesia. Penggalangan atas nama Islam telah memupuk rasa cinta tanah air dan
anti kolonial. Nilai “perang sabil” yang dicanangkan oleh para ulama selalu
menjadi landasan yang kuat dalam ketahanan umat untuk mengusir dan melawan
kolonial. Ketika penjajahan Belanda semakin meluas, maka muncullah gerakan
protes petani dipimpin ulama lokal untuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu
raja-raja tradisional yang dianggap kafir. Para petani dan ulama lokal
menganggap gerakan itu sebagai perang suci, perang terhadap kafir. Diantara
gerakan protes petani lokal seperti yang sudah disebut terdahulu yang dianggap
terbesar adalah yang terjadi Cilegon tahun1888 M. Faktor pendorong terjadinya
pergerakan protes ini, anatara lain situasi kolonial yang menghimpit kehidupan
rakyat, kondisi yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam, pelarangan umat
Islam melakukan ibadah, tindakan yang semena-mena, penggusuran tanah milik
rakyat yang subur untuk tanaman tebu, kerja paksa, pajak yang memeras,
penderitaan rakyat akibat ketidakadilan tuan tanah menimbulkan rasa dendam, kecewa,
tekanan ekonomi yang sangat berat yang kemudian dipersatukan dengan semangat
jihad menjadi gerakan fanatik dan radikal.
Kekerasan
dan penderitaan rakyat akibat kondisi itu mendorong para kiyai dan ulama untuk
menghimpun rakyat tampil sebagai pemimpin dengan cara menghubungi pesantren
melalui khutbah-khutbahnya mereka membantu rakyat melepaskan diri dari tindakan
pemerasan Belanda, dengan melakukan perang jihad. Mereka berhasil mendapatkan
dukungan secara meluas. Namun, karena gerakan protes itu hanya bersifat lokal,
kurang terkoordinasi dengan matang, maka gerakan itu dengan cepat dapat
ditumpas oleh Belanda. Pemimpin-pemimpinnya wafat atau ditawan, pengikutnya
banyak yang menjadi korban, sebagian ada yang menyelamatkan diri. Gerakan
seperti ini belum dapat mengubah keadaan karena hanya berupaletupan seketika.
Gerakan
protes petani yang bercorak agraris ini, sebenarnya merupakan kelanjutan perang
merebutkan hegemoni (yang dahulu dipimpin sultan) dan perlawanan terhadap
dominasi dan ekonomi (yang dipimpin oleh para bangsawan) serta kepemimpinan
ulama dalam perlawanan terhadap kekuasaan asing,. Kesemuanya nanti dilanjutkan
oleh organisasi dan partai yang mempunyai ideologi dan strategi yang lebih
jelas di kota-kota besar, yang kelak akan berperan sebagai dasar pengikat
persatuan sebagai simbol pembeda dengan simbol kolonial Belanda dan bahkan
memberikan rasa harga diri sebagai sebuah bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.
Sepanjang
abad XVIII, di Sumatera penuh pergolakan. Ulama dan pedagang Arab berdatangan
menimbulkan suasana baru dalam kehidupan keagamaan karena mulai munculnya cikal
bakal reformasi ortodoks (reformasi keagamaan). Pada abad itu berperan kerajaan
Johor yang berakhir ketika gabungan Riau-Johor dikalahkan Belanda. Disusun
Palembang menjadi besar dan menjadi pusat pengembangan Islam, ditandai dengan
institusionalisme ketentuan fiqh ke dalam struktur kerajaan. Di abad ini juga
terekat Sammaniya berkembang semakin cepat, tarekat ini yang kelak mengadakan
perlawan terhadap Belanda yang berusaha menguasai istana Palembang. Di Minang
timbul revolusi intelektual yang dijadikan alasan Belanda untuk ikut campur
dalam menguasai pedalaman Minangkabau.
Di
kalangan rakyat, makin berkuasanya kolonial Belanda dirasakan sangat berat
karena terjadi eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan VOC. Dalam
kondisi seperti itu rakyat bergabung dengan pemimpin nonformal, seperti kiyai,
ulama, dan bangsawan yang menggalang rakyat untuk melawan dan berjuang atas
nama agama. Terjadilah Perang Padri (1821-1837), dipelopori oleh Imam Bonjol,
Perang Aceh (1873-1904) yang dipelopori
oleh Panglima Polim yang keduanya dibantu oleh para ulama dan muslim Aceh.
Walaupun perang ini kalah, Islam semakin berkembang ke pedalaman di bawah
sisa-sisa pemimpin yang menyingkir dari
Kerajaan Belanda, seperti sisa-sisa tentara Perang Padri di pedalaman tanah
Batak yang mampu menjadikan sebagian suku Batak memeluk Islam. Sebagian yang
lain pergi ke Timur Tengah, bermukim di sana sambil menuntut ilmu, sehingga
terkena pengaruh reformasi Islam internasional. Di antara mereka adalah Khatib
Al-Minangkabawi, Djamil Djamek, dan Thahir Djalaluddin. Ketika mereka kembali
ke negerinya, mereka menyadari bahwa kekuatan mereka tidak memadai untuk
melawan Belanda, mereka sadar bahwa jika hanya dengan cara-cara tradisional
tidak akan berhasil. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan, berjuang
melalui organisasi, baik di bidang pendidikan maupun sosial. Seperti K.H.Ahmad
Dahlan dengan gerakan Muhammadiyahnya dan K.H.Hasyim Asy’ari menitikberatkan
pada kemurnian madzhab. Mereka ingin menjadikan Islam sebagai landasan
ideologis dan selanjutnya menjadikan Islam sebagai perjuangan politik untuk
melwan kekuasaan kolonial, menjadikan Islam untuk mengangkat harkat diri
berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Islam juga akan dijadikan peletak
landasan kesamaan dan pengikat persatuan.[8]
IV.
PENUTUP
Simpulan
Kedatangan Islam di Indonesia tidak
dapat ditentukan secara pasti, namun secara umum terdapat tiga teori, yang
pertama sekitar abad XIII M yang beasal dari Gujarat, teori ini dikemukakan
oleh kaum orientalis Belanda. Pendapat yang kedua yaitu sekitar abad VII-VIII M yang langsung
berasal dari Arab, hal ini diungkapkan oleh kaum muslim berdasarkan hasil
seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan, 1963. Pendapat yang
ketiga berasal kaum muslim kontemporer, Islam memang sudah masuk ke Indonesia
sekitar abad VII-VIII M, namun baru masuk secara besar-besaran pada abad XIII
M.
Sejarah awal masuknya Islam ke
Indonesia bermula di kota-kota pelabuhan, sebagaimana kita ketahui bahwa
Nusantara pada saat itu menjadi jalur pelayaran dan perdagangan penting di
Indonesia. Perkembangan agama Islam di Indonesia sampai masa berdirinya
kerajaan Islam dapat dibagi menjadi tiga fase. Pertama, singgahnya
pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah
berita luar negeri, terutama Cina. Kedua, adanya komunitas-komunitas Islam di
beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing,
juga makam-makam Islam, dan yang ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam.
Pada masa pra kolonialisme, para
ulama atau tokoh agama memiliki peranan politik dalam kerajaan, mereka sebagai
penasihat para raja serta menentukan langkah politik bagi kerajaan. Namun
ketika masa kolonialisme peranan mereka tersingkirkan oleh kaum kolonial, rakyat
kehilangan sosok pemimpin dan di satu sisi mereka juga semakin terhimpit oleh
keserakahan kaum kolonial. Para ulama tampil sebagai pemimpin bagi
rakyat-rakyat yang semakin sengsara, mereka bergabung untuk melawan kolonial
Belanda, mereka menggalangkan pemupukan rasa cinta tanah air dan gerakan
perlawanan terhadap Belanda, sehingga terjadi banyak peperangan dan banyak
menewaskan mereka.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Qardhawi Yusuf, Meluruskan Sejarah Umat Islam, Jakarta:
PT Rajagravindo Persada, 2005.
Sholikhin H.M, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2004.
Sunanto Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,
Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2005.
Syaefuddin Machfud & Khafidi, Dinamika Peradaban Islam, Yogjakarta: Pustaka
Ilmu, 2013.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah
Islamiyah II, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2003.
VI.
BIODATA PEMAKALAH
Nama : Miftachus
Sholichah
NIM : 133711001
Jurusan : Tadris
Kimia
TTL : Bojonegoro, 10 Mei 1995
Pendidikan : SDN
KAYULEMAH
MTsAi
AT-TAMWIR
MAN MODEL
BOJONEGORO
IAIN
WALISONGO
Alamat : Dusun
Pacul Desa Kayulemah RT.08 RW. 02 Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegojo Jawa timur
No.
Telp : 085641321683
E-mail : 21mifta@gmail.com
Facebook : Mifta
Aqila Farosa
Twitter : @miftachussholic
Blog : miftabojonegoro.blogspot.com
Nama : Emilia
Tanjung Damayanti
NIM : 133711003
Jurusan : Tadris
Kimia
TTL : Lamongan, 28 Agustus 1994
Pendidikan : SDN
PUCANGTELU
SMPN 1
KARANGGENENG
MA. MATHOLI’UL
ANWAR
IAIN
WALISONGO
Alamat : Ds. Pucangtelu, Kalitengah Lamongan Jawa Timur
No.
Telp : 081515350153
E-mail : emilia.virgo@gmail.com
Facebook : emilia
tanjung (nathanlia dahlan)
Twitter : @emilia tanjung2
Blog : emilia tanjung.blogspot.com
Nama : Siti Nurjanah
NIM : 133711010
Jurusan : Kimia
TTL : Grobogan, 21 Desember 1994
Pendidikan : SDN
4 Pulokulon
MTs
Al-Ishlah
Man
Purwodadi
IAIN
Walisongo Semarang
Alamat : Purwodadi-Grobogam
No.
Telp : 085741448259
E-mail : sitinurjanahkimia@gmail.com
Facebook : siti
nurjanah kimia
Twitter : @janah_kimia
Blog : sitinurjanahkimia.blogspot.com
[1] Machfud Syaefuddin, Khafidi, Dinamika
Peradaban Islam, Yogjakarta: Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 249.
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 7-9.
[3] Machfud Syaefuddin, Khafidi, Dinamika
Peradaban Islam, Yogjakarta: Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 250-251
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam: Dirasah Islamiyyah II, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2003, hlm.
191-193.
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, hlm. 10-12.
[6] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam: Dirasah Islamiyyah II, Jakarta: PT Rajagravindo Persada,
201-203.
[7]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT
Rajagravindo Persada, 2010, hlm. 28-32.
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT
Rajagravindo Persada, 2010, hlm. 33-34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar