Jumat, 06 Juni 2014

peradaban Islam Indonesia pra kemerdekaan



MAKALAH
Peradaban Islam Indonesia Pra Kemerdekaan

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, M.S.I.








Miftachus Sholichah                          (133711001)
Emilia Tanjung Damayanti                (133711003)
Siti Nur Jannah                                 (133711010)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2014
       I.            PENDAHULUAN
Di antara agama-agama yang pengembangan dan penyiarannya paling cepat dan dinamis di Indonesia adalah agama Islam. Hal ini karena ajaran-ajarannya bersifat terbuka dan tidak memberatkan. Penyebaran agama Islam di Indonesia menggunakan berbagai sarana, diantaranya melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan dan kesenian. Islam memberikan kontribusi yang positif dalam masyarakat maupun pemerintahan. Dalam perjalanannya Islam memberikan pengaruh bagi Nusantara baik dalam bidang agama, politik maupun sosial. Karena dalam agama Islam tidak hanya berisi soal agama, namun juga mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam cakrawala kehidupan solidaritas beragama. Ketika Islam datang, sebenarnya Nusantara sudah memiliki peradaban yang bersumber dari Hindu-Budha. Walaupun demikian Islam tetap dapat cepat menyebar. Islam menjadikan Nusantara lebih maju, bermula dari kota-kota pelabuhan, lalu ke lingkungan istana, sehingga istana menjadi pusat pengembangan agama, ekonomi, intelektual dan politik.
Di tengah proses islamisasi datang para pedagang Barat yang ingin membawa nafsu kolonialisme bidang ekonomi-politik, mereka ingin menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam dan menguasai Nusantara menggunakan kekerasan, terutama dengan teknologi persenjataan yang lebih unggul. Itulah sebabnya sejak abad XVI M Nusantara mulai kehilangan kemerdekaan. Sejak saat itu pula Islam menjadi lambang perlawanan menghadapi kolonialisme. Walaupun proses islamisasi pada waktu itu belum sempurna, namun islam sudah berfungsi sebagai kekuatan pendorong perlawanan terhadap penjajah sekaligus sebagai lambang pemersatu. Ajaran Islam dapat menumbuhkan jiwa patriotisme sebagai bagian dari iman yang berorientasi ke arah persatuan seluruh kepulauan Nusantara.




    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah teori kedatangan Islam di Indonesia?
B.     Bagaimanakah sejarah awal masuknya Islam di Indonesia?
C.     Bagaimanakah kondisi agama dan kekuatan politik masa kolonialisme?


 III.            PEMBAHASAN
A.    Teori kedatangan Islam di Indonesia
Kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, hal ini berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh para pedagang kemudian oleh para guru agama dan para sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama tersebut tidak mengharapkan pamrih. Hal itu mereka lakukan dengan maksud untuk menunaikan kewajiban sehingga banyak dari mereka yang namanya berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah yang mereka buat untuk mengabadikan peran mereka. Selain itu wilayah Indonesia juga sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Oleh karena itu terdapat beragam pendapat mengenai teori masuknya Islam ke Indonesia, kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Indonesia.
Menurut Machfud Syaefuddin, Khafidi, dkk, Islam datang, berkembang dan melembaga di Nusantara melalui proses yang panjang. Pergumulan di dalam proses Islamisasi di Nusantara sekurang-kurangnya menghasilkan empat teori besar tentang di mana, kapan, dan dari mana Islam datang dan berkembang di Nusantara.[1]
Teori pertama menyatakan bahwa Islam datang dari anak benua India. Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh G. W. J. Drewes, kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Alasan Drewes ialah orang-orang Arab bermadzab Syafi’i yang menetap di Gujarat dan Malabar itulah yang mengembangkan Islam di Nusantara. Sedangkan Hurgronje berpendapat bahwa ketika komunitas Islam di anak benua India-Muslim, Deccan telah kokoh, maka mereka mulai menyebarkan Islam ke tempat lain, termasuk wilayah Nusantara dengan cara menjadi pedagang perantara yang menghubungkan wilayah Timur Tengah dengan wilayah Asia Tenggara sambil menjadi penyebar Islam. Mereka ini adalah keturunan Nabi, karena kebanyakan bergelar sayyid atau syarif. Mouqette berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara melalui Gujarat. Ia berargumentasi bahwa berdasarkan analisis terhadap batu nisan Malik Ibrahim ternyata sama dengan batu nisan di Cambai Gujarat.
Kedua, teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari Bengal sebagaimana diungkapkan oleh S. Q. Fatimi. Dia beranggapan bahwa teori batu nisan di makam Malik al-Shaleh sama sekali berbeda dengan batu nisan di Gujarat, akan tetapi batu nisan Fatimah binti Maimun di Leran Jawa Timur bertahun 475 H (1082 M), justru memiliki kesamaan dengan batu nisan di Bengal.
Teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia melalui Coromadel dan Malabar. Sejarawan yang berpendapat seperti ini adalah Thomas W. Arnold, alasannya wilayah ini memiliki kawasan madzhab dengan wilayah Nusantara waktu itu. Teori ini juga didukung oleh Marrison. Menurutnya, tidak mungkin Islam datang dari Gujarat, sebab secara politis Gujarat belum memungkinkan menjadi sumber penyebaran ketika itu dan belum menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan antara wilayah Nusantara dengan wilayah Timur Tengah.
Teori keempat, menyatakan bahwa Islam datang dari sumber aslinya yaitu Arab. Sejarawan Asia Tenggara yang mengemukakan teori ini adalah Naguib Al-Attas. Teori ini beranggapan bahwa untuk melihat Islam di Asia Tenggara itu datang dari mana, maka yang harus dipertimbangkan ialah kajian terhadap teks-teks atau literatur Islam Melayu Indonesia dan sejarah pandangan Melayu terhadap berbagai istilah atau konsep, kunci yang digunakan oleh para penulis Islam di Asia Tenggara pada abad X - XI H. (XVI - XVII M). Pendapat ini senada dengan kesimpulan hasil seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia melalui saluran langsung dari Arab abad pertama hijrah dan daerah yang mula-mula memeluk Islam ialah Aceh. Diantara sejarawan yang berpendapat Islam Arab, khususnya Hadramaut dan Mesir ialah Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nuemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878).
Secara garis besar perbedaan  tersebut dikelompokkan menjadi tiga:[2] 
1.      Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, di antaranya Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad XIII M dari Gujarat (bukan dari arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.
2.      Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya prof. Hamka, yang mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama hijriyah (± abad VII sampai abad VIII) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad XIII M (yaitu sudah sejak abad VII M) melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat.
3.      Sarjana muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama hijriyah sekitar abad VII M sampai VIII M, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan menguasai kekuatan politik pada abad XIII M dengan berdirinya kerajaan Samudrai Pasai. Hal ini terjadi akibat arus kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

B.     Sejarah awal masuknya islam di indonesia
Istilah “sejarah”, menurut Sayid Quthub, bukan diartikan sebagai peristiwa-peristiwa masa lampau, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberinya dinamisme dalam waktu dan tempat. Dalam perspektif demikian, sejarah tidak bisa terlepas dari faktor pemahaman sang penafsir sejarah (author), konteks ruang dan waktu, dan peristiwa-peristiwa terkait ketika “sejarah” tersebut dipanggungkan di ranah publik. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan jika kita menemukan perbedaan-perbedaan substansial pada penulisan sejarah, baik nama tokoh, penyebutan tempat, penulisan tahun, bahkan narasi kejadian yang menjadi fakta cerita pada setiap adegannya.
Beberapa sumber sejarah mengenai masuknya Islam ke Indonesia dapat digolongkan menjadi dua :[3]
1.      Sumber Ekstern
a.       Berita Arab
Pada abad VII M. Di mana kesultanan Sriwijaya sedang berkembang menuju ke kesultanan maritim, telah banyak pedagang Arab yang mengadakan hubungan dengan masyarakat Zabag/Sriwijaya.
b.      Berita Eropa
Pada tahun 1292 M., Marco Polo, orang Eropa (Italia) pertama yang menginjakkan kakinya ke Indonesia kembali dari Cina ke Eropa melalui jalan laut. Ketika ia singgah ke Perlak (Peurelak) pemeluknya telah memeluk agama Islam dan telah terdapat kesultanan yaitu Kesultanan Samudra Pasai.
c.       Berita India
Para pedagang Gujarat India, di samping berdagang juga menyebarkan agama Islam di pesisir pantai.
d.      Berita Cina
Dikatakan oleh Ma Huan (Sekertaris Laksamana Cheng Ho) bahwa pada tahun 1400 M. Telah ada pedagang-pedagang Islam tinggal di pantai utara Jawa.
2.      Sumber Intern
a.       Batu nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) yang bertuliskan Arab di Leran Gresik.
b.      Makam Sultan Malik al-Shaleh (1297 M) di Sumatra
c.       Makam Syaikh Maulana Malik Ibrohim (1419 M) di Gresik. 
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak zaman kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi pedagang, dan menjadi daerah lintasan yang penting antara Cina dan India. Sementara itu pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad I dan ke VII M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Pedagang-pedagang asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad VII M, ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka merupakan pusat pelayaran dan perdagangan. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari pelosok Nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat yang waktu itu melakukan hubungan perdagangan langsung dengan Malaka. Dengan demikian Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting. Menurut J.C. Van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalana dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa di masa dinasti Tang (abad IX-X) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton (Kan-fu) dan Sumatra. Ta-Shih adalah sebutan  untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur mungkin di sebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Cina zaman dinasti Tang di Asia bagian timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi, menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk Islam, tentu bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad XIII M, masyarakat muslim sudah ada di Sumatra Pasai,  Perlak dan Palembang di Sumatra. Di jawa, makam Fatimah binti Maimum di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad XIII M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Namun, sumber sejarah yang shahih yang memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komunitas Islam” berubah menjadi pusat kekuasaan.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina. Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[4] 
Bersamaan dengan para pedagang datang pula da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang dari negeri-negeri di ketiga bagian benua asia itu. Hal itu memunculkan hubungan timbal balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat muslim. Pertumbuhan perkampungan ini makin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi membentuk struktur pemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu, kepala suku Gampung Samudra menjadi Sultan Malik As-Soleh.
Dari paparan di atas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya islam ke indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut:[5]
1.      Perdagangan, menggunakan sarana pelayaran.
2.      Dakwah, yang dilakukan pleh mubaligh yanbg berdatangan bersama para pedagang. Para mubaligh itu bisa jadi juga para sufi yang mengembara.
3.      Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan memepercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkawinan, secara tidak langsung orang tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan. Terlebih apabila pedagang besar kawin dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain.
4.      Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan pe nyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar.
5.      Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama, da’i, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan.
Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara:
a.       Dengan membentuk kader mubaligh, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama Islam di daerah asalnya.
b.      Melalui karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat. Di abad  XVII, Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para ulama dan para sufi.
6.      Kesenian, saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Walisongo, terutama Sunan Kalijogo, mempergunakan banyak cabang seni untuk islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni bahasa.
Sedangkan menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu: [6]
1.      Saluran perdagangan
Pada tahap permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad VII hingga XVI M. Membuat pedagang-pedagang muslim turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur benua asia. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui perdagangan di pesisir Pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid, sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa jawa, yang menjabat sebagai bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim. Dalam perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat tinggalnya.
2.      Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi para pedagang muslim memiliki status sosial yang tinggi baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar kaya. Sebelum kawin mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati karena raja, adipati, atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (Raden pertama Demak).
3.      Saluran tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, megajarkan teosofi yag bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuata-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bagsawan setempat. Dengan tasawuf, bentuk islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hidu, sehingga agama itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikira Indonesia pra-islam adala Hamzah Fansuri di Aceh.
4.      Saluran Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiyai-kiyai, dan para ulama. Di pesantren atau pondok itu, para santri mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren mereka pulang ke kampung masing-masing atau ke tempat tertentu untuk mengajarkan Islam. Misalnya, pesantrern yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta, Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Alumni pesantrenn Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
5.      Saluran Kesenian
Saluran islamisasi melalui penndidikan yang paling terkenal ialah pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang  mahir dalam mementaskan wayanng. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi dicerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti hikayat, babad, seni bangunan dan seni ukir.
6.      Saluran politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyatnya memeluk Islam setelah rajanya mamaluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di daerah ini.

C.     Agama dan kekuatan politik masa kolonialisme
Masalah politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, pemerintahan, lembaga-lembaga, dan proses politik, hubungan internasional, dan tata pemerintahan.[7]
Pada masa awal Islamisasi Nusantara, sultan dibantu oleh ulama yang menjadi penasihatnya menggunakan agama sebagai sarana untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik, ekonomi dan keagamaan. Hal ini terlihat bagaimana sultan-sultan mengadakan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain, misalnya Kerajaan Pasai mengawinkan putrinya dengan raja muda Malaka yang semula masih Hindu bernama Prameswaramenjadi raja Muslim bergelar Megat Iskandar Syah dan diangkat sebagai raja pertama Kerajaan Islam Malaka. Contoh lain adalah perkawinan Meurah Silu Raja Samudra dengan putri kerajaan Perlak yang muslimah dan menggabungkan kedua kerajaan menjadi kerajaan Samudra Pasai dan Meurah Silu bergelar Malik As-Saleh sebagai raja pertamanya, perkawinan Putri Trenggono Raja Demak dengan Joko Tingkir keturunan Majapahit, persekutuan Kerajaan Demak dengan Cirebon untuk menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa, serta persekutuan Fadlilah Khan dari Pasai dengan Cirebon dan Demak untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik Pulau Jawa dengan Perjanjian Giyanti, karena itu raja jawa kehilangan kekuasaan politiknya. Bahkan, kewibawaan raja sangat tergantung kepada VOC. Campur tangan kolonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga ulama-ulama keraton sebagai penasihat raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara penguasa kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda merajalela, penggusuran dan perampasan tanah milik rakyat untuk kepentingan pemerintah semakin digalakkan. Raja-raja tradisional jarang membanrtu rakyat, bahkan setelah mendapat gaji, mereka memihak kepada tuannya (Belanda). Rakyat ketakutan dan kesulitan menghadapi Belanda. Dalam kondisi seperti ini rakyat mencari pemimpin nonformal (ulama, kiyai, bangsawan) yang masih memperhatikan mereka. Pusat kekuatan politik berpindah dari istana keluar, yaitu ke wilayah-wilayah yang jauh dari istana, salah satunya ke pesantren-pesantren yang kemudian menjadi basis pahlawan.
Keterlibatan para ulama dalam politik hampir sama tuanya dengan sejarah peradaban islam. Hal ini disebabkan islam sebagai sebuah agama tidak hanya mengajarkan tata cara ibadah untuk kecenderungan akhirat belaka, tetapi juga mengajarkan tata cara bermuamalah, berinteraksi sosial dan urusan dunia. Islam banyak mengajarkan nilai-nilai noral dalam masyarakat dan bernegara, baik dalam lingkup lokal maupun internasional untuk konteks Indonesia, peran ulama dalam bidang politik pada zaman kerajaan-kerajaan Islam terwujud dalam peranannya sebagai penasihat raja-raja atau sultan untuk menentukan langkah-langkah politiknya. Namun ketika sulata-sultan sudah tidak mempunyai kekuatan politik lagi, maka para ulama berperan sendiri menggalang rakyat yang tidak punya raja karena rajanya sudah dikalahkan penjajah. Ulama, atas nama islam menggalang kekuatan untuk melawan penjajah, terjadilah Jerang Jawa (1825-1830) dipelopori Pangeran Diponegoro didampingi Kiyai Mojo (1873-1904). Walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam Indonesia. Penggalangan atas nama Islam telah memupuk rasa cinta tanah air dan anti kolonial. Nilai “perang sabil” yang dicanangkan oleh para ulama selalu menjadi landasan yang kuat dalam ketahanan umat untuk mengusir dan melawan kolonial. Ketika penjajahan Belanda semakin meluas, maka muncullah gerakan protes petani dipimpin ulama lokal untuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu raja-raja tradisional yang dianggap kafir. Para petani dan ulama lokal menganggap gerakan itu sebagai perang suci, perang terhadap kafir. Diantara gerakan protes petani lokal seperti yang sudah disebut terdahulu yang dianggap terbesar adalah yang terjadi Cilegon tahun1888 M. Faktor pendorong terjadinya pergerakan protes ini, anatara lain situasi kolonial yang menghimpit kehidupan rakyat, kondisi yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam, pelarangan umat Islam melakukan ibadah, tindakan yang semena-mena, penggusuran tanah milik rakyat yang subur untuk tanaman tebu, kerja paksa, pajak yang memeras, penderitaan rakyat akibat ketidakadilan tuan tanah menimbulkan rasa dendam, kecewa, tekanan ekonomi yang sangat berat yang kemudian dipersatukan dengan semangat jihad menjadi gerakan fanatik dan radikal.
Kekerasan dan penderitaan rakyat akibat kondisi itu mendorong para kiyai dan ulama untuk menghimpun rakyat tampil sebagai pemimpin dengan cara menghubungi pesantren melalui khutbah-khutbahnya mereka membantu rakyat melepaskan diri dari tindakan pemerasan Belanda, dengan melakukan perang jihad. Mereka berhasil mendapatkan dukungan secara meluas. Namun, karena gerakan protes itu hanya bersifat lokal, kurang terkoordinasi dengan matang, maka gerakan itu dengan cepat dapat ditumpas oleh Belanda. Pemimpin-pemimpinnya wafat atau ditawan, pengikutnya banyak yang menjadi korban, sebagian ada yang menyelamatkan diri. Gerakan seperti ini belum dapat mengubah keadaan karena hanya berupaletupan seketika.
Gerakan protes petani yang bercorak agraris ini, sebenarnya merupakan kelanjutan perang merebutkan hegemoni (yang dahulu dipimpin sultan) dan perlawanan terhadap dominasi dan ekonomi (yang dipimpin oleh para bangsawan) serta kepemimpinan ulama dalam perlawanan terhadap kekuasaan asing,. Kesemuanya nanti dilanjutkan oleh organisasi dan partai yang mempunyai ideologi dan strategi yang lebih jelas di kota-kota besar, yang kelak akan berperan sebagai dasar pengikat persatuan sebagai simbol pembeda dengan simbol kolonial Belanda dan bahkan memberikan rasa harga diri sebagai sebuah bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.
Sepanjang abad XVIII, di Sumatera penuh pergolakan. Ulama dan pedagang Arab berdatangan menimbulkan suasana baru dalam kehidupan keagamaan karena mulai munculnya cikal bakal reformasi ortodoks (reformasi keagamaan). Pada abad itu berperan kerajaan Johor yang berakhir ketika gabungan Riau-Johor dikalahkan Belanda. Disusun Palembang menjadi besar dan menjadi pusat pengembangan Islam, ditandai dengan institusionalisme ketentuan fiqh ke dalam struktur kerajaan. Di abad ini juga terekat Sammaniya berkembang semakin cepat, tarekat ini yang kelak mengadakan perlawan terhadap Belanda yang berusaha menguasai istana Palembang. Di Minang timbul revolusi intelektual yang dijadikan alasan Belanda untuk ikut campur dalam menguasai pedalaman Minangkabau.
Di kalangan rakyat, makin berkuasanya kolonial Belanda dirasakan sangat berat karena terjadi eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan VOC. Dalam kondisi seperti itu rakyat bergabung dengan pemimpin nonformal, seperti kiyai, ulama, dan bangsawan yang menggalang rakyat untuk melawan dan berjuang atas nama agama. Terjadilah Perang Padri (1821-1837), dipelopori oleh Imam Bonjol, Perang Aceh (1873-1904)  yang dipelopori oleh Panglima Polim yang keduanya dibantu oleh para ulama dan muslim Aceh. Walaupun perang ini kalah, Islam semakin berkembang ke pedalaman di bawah sisa-sisa pemimpin  yang menyingkir dari Kerajaan Belanda, seperti sisa-sisa tentara Perang Padri di pedalaman tanah Batak yang mampu menjadikan sebagian suku Batak memeluk Islam. Sebagian yang lain pergi ke Timur Tengah, bermukim di sana sambil menuntut ilmu, sehingga terkena pengaruh reformasi Islam internasional. Di antara mereka adalah Khatib Al-Minangkabawi, Djamil Djamek, dan Thahir Djalaluddin. Ketika mereka kembali ke negerinya, mereka menyadari bahwa kekuatan mereka tidak memadai untuk melawan Belanda, mereka sadar bahwa jika hanya dengan cara-cara tradisional tidak akan berhasil. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan, berjuang melalui organisasi, baik di bidang pendidikan maupun sosial. Seperti K.H.Ahmad Dahlan dengan gerakan Muhammadiyahnya dan K.H.Hasyim Asy’ari menitikberatkan pada kemurnian madzhab. Mereka ingin menjadikan Islam sebagai landasan ideologis dan selanjutnya menjadikan Islam sebagai perjuangan politik untuk melwan kekuasaan kolonial, menjadikan Islam untuk mengangkat harkat diri berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Islam juga akan dijadikan peletak landasan kesamaan dan pengikat persatuan.[8]


 IV.            PENUTUP
Simpulan
Kedatangan Islam di Indonesia tidak dapat ditentukan secara pasti, namun secara umum terdapat tiga teori, yang pertama sekitar abad XIII M yang beasal dari Gujarat, teori ini dikemukakan oleh kaum orientalis Belanda. Pendapat yang kedua  yaitu sekitar abad VII-VIII M yang langsung berasal dari Arab, hal ini diungkapkan oleh kaum muslim berdasarkan hasil seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan, 1963. Pendapat yang ketiga berasal kaum muslim kontemporer, Islam memang sudah masuk ke Indonesia sekitar abad VII-VIII M, namun baru masuk secara besar-besaran pada abad XIII M.
Sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia bermula di kota-kota pelabuhan, sebagaimana kita ketahui bahwa Nusantara pada saat itu menjadi jalur pelayaran dan perdagangan penting di Indonesia. Perkembangan agama Islam di Indonesia sampai masa berdirinya kerajaan Islam dapat dibagi menjadi tiga fase. Pertama, singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina. Kedua, adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam, dan yang ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. 
Pada masa pra kolonialisme, para ulama atau tokoh agama memiliki peranan politik dalam kerajaan, mereka sebagai penasihat para raja serta menentukan langkah politik bagi kerajaan. Namun ketika masa kolonialisme peranan mereka tersingkirkan oleh kaum kolonial, rakyat kehilangan sosok pemimpin dan di satu sisi mereka juga semakin terhimpit oleh keserakahan kaum kolonial. Para ulama tampil sebagai pemimpin bagi rakyat-rakyat yang semakin sengsara, mereka bergabung untuk melawan kolonial Belanda, mereka menggalangkan pemupukan rasa cinta tanah air dan gerakan perlawanan terhadap Belanda, sehingga terjadi banyak peperangan dan banyak menewaskan mereka.

    V.            DAFTAR PUSTAKA

Mubarok Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.   
Qardhawi Yusuf, Meluruskan Sejarah Umat Islam, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2005.
Sholikhin H.M, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2004.
Sunanto Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2005.
Syaefuddin Machfud & Khafidi, Dinamika Peradaban Islam, Yogjakarta: Pustaka Ilmu, 2013.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2003.

















 VI.            BIODATA PEMAKALAH
Nama               :           Miftachus Sholichah
NIM                :           133711001
Jurusan            :           Tadris Kimia
TTL                 :           Bojonegoro, 10 Mei 1995
Pendidikan      :           SDN KAYULEMAH
                                    MTsAi AT-TAMWIR
                                    MAN MODEL BOJONEGORO
                                    IAIN WALISONGO
Alamat           :            Dusun Pacul Desa Kayulemah RT.08 RW. 02 Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegojo Jawa timur
No. Telp          :           085641321683
E-mail              :           21mifta@gmail.com
Facebook         :           Mifta Aqila Farosa
Twitter                        :           @miftachussholic
Blog                :           miftabojonegoro.blogspot.com


Nama               :           Emilia Tanjung Damayanti
NIM                :           133711003
Jurusan            :           Tadris Kimia
TTL                 :           Lamongan, 28 Agustus 1994
Pendidikan      :           SDN PUCANGTELU
                                    SMPN 1 KARANGGENENG
                                    MA. MATHOLI’UL ANWAR
                                    IAIN WALISONGO
Alamat                        :           Ds. Pucangtelu, Kalitengah Lamongan Jawa Timur
No. Telp          :           081515350153
E-mail              :           emilia.virgo@gmail.com
Facebook         :           emilia tanjung (nathanlia dahlan)
Twitter                        :           @emilia tanjung2
Blog                :           emilia tanjung.blogspot.com

Nama               :           Siti Nurjanah
NIM                :           133711010
Jurusan            :           Kimia
TTL                 :           Grobogan, 21 Desember 1994
Pendidikan      :           SDN 4 Pulokulon
                                    MTs Al-Ishlah
                                    Man Purwodadi
                                    IAIN Walisongo Semarang
Alamat                        :           Purwodadi-Grobogam
No. Telp          :           085741448259
E-mail              :           sitinurjanahkimia@gmail.com
Facebook         :           siti nurjanah kimia
Twitter                        :           @janah_kimia
Blog                :           sitinurjanahkimia.blogspot.com







[1] Machfud Syaefuddin, Khafidi, Dinamika Peradaban Islam, Yogjakarta: Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 249.

[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 7-9.
[3] Machfud Syaefuddin, Khafidi, Dinamika Peradaban Islam, Yogjakarta: Pustaka Ilmu, 2013, hlm. 250-251
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyyah II, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2003, hlm. 191-193.
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 10-12.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyyah II, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 201-203.
[7]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2010, hlm. 28-32.
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Rajagravindo Persada, 2010, hlm. 33-34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar